Powered By Blogger

Thursday, October 31, 2013

Agasyi



Elles sont très formidables et inoubliables.
O Allah, je les aime toujours grâce à vous. 
Merci



Wednesday, October 30, 2013

Le 9 juillet 2014. Qu'est-ce qu'on va faire?



Le Rôle Des Jeunes aux Élections Présidentielles

            Savez-vous que le jour d’élection présidentielle en Indonésie aura lieu le 9 juillet en 2014? Et comme les jeunes, que ferons-nous? Aujourd’hui il y a de plus en plus des jeunes qui ont le droit de voter, c’est environ 69 millions. Ce n’est pas beaucoup, mais pourquoi les gens, surtout le gouvernement, ils attendent toujours le rôle des jeunes?
            Au début, l’élection présidentielle en Indonésie a été seulement suivie par l’assemblée législative. Mais après la modification de UUD 1945 en 2002, l’élection présidentielle est suivie par les citoyens. C’est une vie démocratique, étant donné que le slogan est de citoyens, par citoyens, pour citoyens. La première d’élection présidentielle directe était en 2004, et les citoyens choisissent le président avec le vice du président chaque une période, une fois par cinq ans. En Indonésie, les gens qui ont déjà 17 ans, ils viennent d’avoir le droit de voter.
            La jeunesse, elle désigne l'état optimal des physiques et intellectuelles d'une personne. Elle présente aussi des caractères vigueur, fraîcheur, spontanéité, courage, vivacité. Les jeunes sont connus aussi par ses mouvements qui créent souvent des changements dans un pays.
            En Indonésie, il y a quelques histoires qui montrent les événements historiques qui ont été crée par les jeunes. Le premier, c’est le 28 octobre 1928, les jeunes ont fait le Sumpah Pemuda pour montrer leur nasionalisme aux colonisateurs hollandais. Puis, le 16 août 1945 avant la proclamation, Chaerul Saleh et Wikana, ils sont allés à Jakarta pour rencontrer Monsieur le Président de la République, Soekarno. Ils lui demandent toujours de proclamer l’indépendance de l’Indonésie au monde, c’est l’événement de Rengasdengklok. Enfin, c’est le 21 mai 1998, Soeharto, il a été démissionné par les jeunes à cause de son régime pendant 32 ans. Donc, selon ces histoires des mouvements des jeunes, on sait mieux qu’ils ont toujours des grands impacts pour l’Indonésie.
            Dans l’élection présidentielle, ce que les jeunes doivent faire, c’est d’y participer bien et actif. Le premier, c’est l’utilisation du droit de voter. Dans ce cas là, ce qui est plus importante, c’est la conscience de ne pas avoir l’abstention, le vote blanc, ou bien le vote nul. Il faut qu’on sache bien, quand on utilise notre droit de voter, ce n’est plus la volonté, mais le besoin.
            En outre, les jeunes doivent donner des informations aux citoyens sur l’importance d’utiliser le droit de voter dans l’élection présidentielle. Étant donné que l’un des impacts négatifs si on n’utilise pas notre droit de voter, c’est qu’il y aura des gens inconnus qui vont en “profiter”. Par conséquent, il y aura aussi des votes qui ne sont pas acceptables à cause de la fraude.
            Et pour ceux qui ont l’abstention, le vote blanc, ou le vote nul? Ils ont des  mauvais choix. Si on ne donne pas l’attention à notre pays, ça ne montre pas que nous sommes les jeunes. 1 vote = 1 pas pour la meilleure Indonésie. Votez ou vous serez regret cinq ans plus tard!

(Tulisan Le Rôle Des Jeunes aux Élections Présidentielles atau Peran Pemuda dalam Pemilu ini sudah diikutsertakan dalam lomba Menulis di La Semaine Français oktober 2013)




Saturday, October 26, 2013

Yang tersurat

Bismillah.


Perubahan yang begitu cepat, imitasi yang begitu singkat, entah seperti apa wujudnya sekarang, wujud seseorang itu. "ah.. seperti aku harus mengenalnya sekali lagi", ujarku sekenanya.

Tahukah? saat kita bertemu, sekarang rasanya bagaikan pertemuan antara magnet selatan dan magnet selatan. Atau magnet utara, dengan magnet utara. Jelas tidak menempel antara kau dan aku. Hebat ya manusia yang telah membuat kau tergila-gila itu.

"Hati-hati.. hati-hati.. Hati2.. Provokasi.." :D
Ayo jaga ruh, jasad, dan pikiran kita agar senantiasa terpaut pada ilmuNya.

Tuesday, October 22, 2013

Pemudi Islam

Bismillah.

Cerita tentang dinamisasi kelompok mentoring sepekan yang lalu, jumat sore di halaman MNI tercinta.
Membahas seputar pemuda. Apa dan Untuk Siapa.
Belajar menjadi pemudi yang taat pada Tuhannya, pada agamanya, dan menerima fitrahnya dengan penuh syukur.
Pada akhirnya dikeluarkanlah secarik kertas yang dibagi sesuai dengan jumlah mentee, sembilan robekan kertas. Ditulislah komitmen penting di atas kertas-kertas kecil tersebut. Isian rumpang...
"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai..." dan "Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang..."

Voila!

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai orangtuaku.."
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang istiqomah di jalan Allah dan insyaaAllah bisa selalu menaati perintahNya dan menjauhi laranganNya, dan bermanfaat bagi orang lain".
-Shinta

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai hal-hal yang aku sukai.." 
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang berguna walaupun untuk hal yang kecil atau sederhana".
-Diva

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai orang-orang yang membutuhkanku.." 
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang berguna bagi Masyarakat."
-Restu

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai Tuhanku, Allah SWT :) dan orangtua.." 
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang berjuang di jalan Allah."
-Luluk

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai bangsaku dan segala hal yang telah Allah amanahkan kepadaku.." 
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang berguna bagi negara serta agamaku."
-Icut

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai anggota keluargaku.." 
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang berguna tak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk masyarakat luas. Aamiin ya Rabbal alamin.."
-Desi

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai ibuku.." 
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang berguna bagi bangsa, agama, makhluk hidup lainnya, dan orangtua." 
-Nadya

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai orangtuaku.." 
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang bermanfaat bagi semuanya.."
-Azza

"Aku mencintai agamaku, seperti aku mencintai diri sendiri.." 
"Aku bertekad pada diriku untuk menjadi pemudi Islam yang berguna dan suka menolong."
-Naka

Beragam jawaban yang mereka miliki.. membuatku tersenyum-senyum mendengarkannya hehe
walau pada kenyataannya CINTA kita akan Islam tak akan pernah sesederhana yang tertulis dalam secarik kertas :)
Namun inilah bentuk kata lain dari sebuah komitmen sebagai pemudi Islam yang akan berguna nantinya.
InsyaaAllah.

#GerakanAyoMentoring

Saturday, October 19, 2013

Warisan Kebudayaan Indonesia yang Terampas, Rela atau Bela?



            Sudah sepantasnya mencintai bumi pertiwi dengan sepenuh hati, kemudian menjaga kehormatan dan keindahannya, menjaga bangsa yang begitu luas dan kaya raya. Meski pada kenyataannya mungkin ia telah banyak terluka karena terlampau sering dilalaikan, dan bahkan dipermalukan.
            Salah satu bukti otentik betapa luas dan kayanya bangsa kita dapat dilihat dari jumlah pulau, suku, dan bahasa yang ia miliki. Diambil dari situs www.dkn.go.id milik Sekretariat jendral Dewan Ketahanan Nasional, meski belum ada kata sepakat dari beberapa Kementerian terkait dengan jumlah Pulau di Indonesia, namun Kementerian Pertahanan RI menyebutkan jumlah Pulau yang dimiliki oleh NKRI tercatat ada 17.504 pulau.
            Selanjutnya berdasarkan data dari Sensus Penduduk terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, diketahui jumlah suku di Indonesia yang berhasil terdata lebih kurang sebanyak 1.128 suku bangsa. Walau ternyata sulit menentukan jumlah sebenarnya, hal ini dikarenakan luas wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdapat beberapa wilayah pedalaman yang masih sulit dijangkau.
            Beragam dialek bahasa pun dapat ditemukan di Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyatakan bahwa pihaknya mencatat sedikitnya jumlah bahasa dan sub bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa yang dimiliki Indonesia, pun jumlahnya akan lebih banyak karena penelitian belum selesai. Sungguh, alangkah kayanya bangsa ini.
            Luasnya wilayah negara Indonesia dan beragamnya suku, juga bahasa yang ada di Indonesia secara langsung menunjukkan bahwa bangsa ini juga memiliki kekayaan budaya, khususnya budaya seni. Setiap wilayah, suku, dalam balutan bahasa yang berbeda memiliki budaya seni yang berbeda-beda pula. Namun sekarang pertanyaannya adalah, tahukah kita bagaimana kondisi budaya seni milik Indonesia hari ini??
            Berdasarkan Perpustakaan Digital Budaya Indonesia www.budaya-indonesia.org Indonesia dianggap kaya raya akan budaya, fakta ini tidak bisa disangkal oleh siapapun. Sayangnya dibalik kekayaan tersebut justru Pemerintah dan bangsa Indonesia sangat lemah dalam mematenkan apa yang seharusnya menjadi hak bangsa ini.
            Hari ini bangsa kita telah banyak dikagetkan dengan dirampasnya budaya seni milik Indonesia oleh negara lain. Dari data yang dikumpulkan dari situs  
Perpustakaan Digital Budaya Indonesia terdapat beberapa budaya seni milik Indonesia yang di klaim bangsa lain. Bahkan diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain:
  1. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  2. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  3. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
  4. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  5. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  6. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  7. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  8. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
  9. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
  10. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  11. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  12. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  13. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  14. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
  15. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
  16. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
  17. Kain Ulos oleh Malaysia
  18. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
  19. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
  20. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia
           
            Haruskah kita rela, atau kita bela? Pertanyaan retoris. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki warisan budaya terkaya di dunia. Bagaimana tidak, hampir setiap provinsi memiliki budaya seni tersendiri. Sayangnya pemerintah belum melakukan upaya untuk mematenkan warisan budaya milik bangsa Indonesia.
            Sudahi mimpi buruk ini, dan tagih janji. Dalam Portal Nasional Republik Indonesia http://www.indonesia.go.id di sana terdapat Visi-Misi SBY dan Boediono selama periode 2009-2014, di dalamnya terdapat 13 Program Aksi yang harus direalisasikan. Dalam kasus ini, SBY-Boediono menempatkan pelestarian warisan budaya Indonesia dalam prioritas nomor 13. Berikut bunyinya:
Prioritas 13: Program Aksi Pengembangan Budaya
1. Menjaga suasana kebebasan kreatif di bidang seni dan keilmuan.
2. Menyediakan prasarana untuk mendukung kegiatan kebudayaan dan keilmuan yang bersifat non-komersial.
3. Memberikan insentif kepada kegiatan kesenian dan keilmuan untuk mengembangkan kualitas seni dan budaya serta melestarikan warisan kebudayaan lokal dan nasional, modern, dan tradisional.
            Budaya merupakan identitas bangsa. Jika aset budaya seni milik Indonesia tidak pernah dipatenkan dan dibiarkan selalu terampas, ini menandakan jati diri bangsa sedang terdegradasi. Jika kita biarkan hal ini terus-menerus terjadi, Indonesia tak akan lagi memiliki budaya yang dibanggakan, bangsa ini akan semakin terkikis identitasnya. 


Milka Anggun – BASIS Fbs Unj


Tuesday, October 15, 2013

kampung Cibuyutan, i'm in love (part II)



Bismillahirrahmaanirrahiim.

            Bagiku, lelah kemarin adalah bagian dari nikmatnya berbagi. Tak pernah berhenti untuk bersyukur, sekali lagi berkesempatan mengikuti kegiatan sosial di kampung Cibuyutan dalam Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Universitas (PKMU) dari BEM UNJ kemarin (11-13 oktober 2013). Kami membawa beberapa program perbaikan, mulai dari kebiasaan menjaga kebersihan, pendidikan, sampai infrastruktur (MCK). Alur perjalanannya sama seperti tiga bulan yang lalu, hari jumat malam menginap di salah satu TPA dekat pemukiman warga daerah jonggol. Keesokan paginya baru kami berangkat menuju kampung Cibuyutan dengan berjalan kaki, that’s the point :)








            Jika tiga bulan yang lalu tanah dapat dipijak dengan baik. Berbeda dengan kali ini, hujan yang membasahi tanah cukup menyulitkan langkah kaki untuk menapaki bebatuan yang licin ditambah tanah yang lengket. Bahkan ada warga yang jatuh ketika mengendarai motornya karena jalan begitu licin, beruntung ia tidak apa-apa. Yang menyenangkan adalah peserta yang jumlahnya lebih dari 50 orang ikut meramaikan euforia perjalanan ini. Alhamdulillah.

            Pepohonan, sungai bebatuan, sawah, gunung, semua tersaji sangat sepadan. Pemandangannya tidak berubah, masih tetap indah. Seperti biasa perjalanannya memakan durasi lebih kurang dua jam. Rutenya lurus-lurus saja, tapi tanjakan dan turunannya sangat menguji keteguhan langkah ini. Sejujurnya yang paling mendebarkan hati adalah detik-detik ketika akan sampai ke sekolah, yang aku ingat, tiga bulan lalu aku berdo’a memohon padaNya untuk diberi kesempatan kembali lagi ke desa bintang itu. Maka detik-detik menjelang sampai ke sekolah begitu membuatku tidak sabar, selangkah, dua langkah, masih belum terlihat. Namun aku yakin jarak sekolahnya sudah dekat. Melanjutkan, tiga langkah, empat langkah, semakin cepat, dan kemudian berlari kecil, dan.... itu dia! Itu dia sekolahnya! Satu-satunya madrasah ibtidaiyyah yang ada di sana, madrasah yang diwarnai oleh bocah-bocah kecil nan santun. Ada yang berbeda di sana, ada bangunan baru. Seperti alat pembangkit listrik dari tenaga surya.





            Sesampainya di sekolah, para siswa-siswi madrasah ibtidaiyyah sudah duduk rapi di dalam kelas, sedang bermain dengan kakak-kakak mahasiswa yang sudah sampai lebih awal, tak sabar aku ingin cepat bergabung di dalamnya. Melihat wajah-wajah kecil yang dulu sempat kulihat, Rohim, Onim, Reza, dan juga yang lainnya. Lebih dari itu, ternyata ada juga wajah-wajah baru, siswa-siswi kelas satu.





Selepas itu peserta kembali berkumpul dengan kelompok, rasanya beruntung bisa tergabung dalam kelompok 1, kelompok yang kami beri nama kaffah, menyeluruh. Agar kerja kami, dan kekeluargaan kami tidak setengah-setengah, lebih kurang begitulah harapannya :D Padahal sebenarnya ini hasil dari celetukan seseorang (lupa siapa penggagasnya hehe), karena terasanya keren jadi kami patenkan saja.



 Kelompok 1 menetap di rumah sebuah keluarga yang dekat dengan rumah pak RT, rumah yang kutinggali kali ini lebih baik dari rumah kemarin. Walau rumah ini sedikit lebih nyaman, namun kompornya masih tradisional, dengan kayu bakar. Dan inilah monolog sang ibu saat memasak nasi,“memasak di kampung itu rasanya bangga”, kata sang ibu, “karena tidak semudah di kota yang sudah ada listrik, tinggal colok saja, namun di sini perlu diaroni berulang-ulang”. Lebih kurang begitu bahasa Indonesianya, sang ibu ternyata cukup fasih berbahasa Indonesia. Kami banyak berbincang dengan sang ibu, pun aku penasaran dengan alat yang baru dibangun dekat sekolah maka kutanyakan pada sang ibu darimana alat itu bisa dibangun, “ti Bandung, katanya nanti akan masuk listrik di sini.. tiga bulan lagi, tapi ibu kurang tau dari siapa” jawab sang Ibu, serentak kami mengucap Alhamdulilah...  Sejujurnya aku masih ingin tau dari siapa inisiatif alat tersebut muncul, berharap bantuan ini benar datang langsung dari pemerintah, karena memang sepantasnya begitu. Hari itu, disaat para lelaki sibuk bekerja membersihkan dan memperbaiki kerusakan yang ada di MCK umum di sana, para wanita mengimbangi dengan sibuk memasak.



Sore harinya rumah kami kedatangan tamu-tamu kecil, ada Rafa, Refan, dan Fajar. Dari yang usianya 2,5 tahun sampai 4 tahun, mereka masih balita, meuni kasep pisun.... Untung sudah disiapkan satu kotak crayon berisi 12 batang, dan kami mewarnai bersama sambil mencoba berbincang sedikit dengan bahasa sunda, dibantu Fadlah dari Fip. Kembali mengingat pelajaran bahasa sundaku yang dulu. Walau perbincangan tak bertahan lama karena mereka kembali bermain dengan kumbang-kumbang yang disebut lege’, namun setelah bermain mereka sesekali kembali mengunjungi kami. Tak terasa cahaya matahari tak lagi terasa, menjelang maghrib kami masih bersama bocah-bocah kecil itu, ketika para orang tua menjemput untuk pulang ke rumah, salah seorang dari mereka berkata, “embung ah, urang mah rék nginep sareng tétéh” ucap Refan. Kami hanya tertawa mendengar ucapan lugunya, ia ingin menginap saja bersama kakak-kakak dari Unj.




Malam hari tiba, selepas maghrib aktifitas di rumah ini masih berjalan dengan bantuan cahaya senter. Aktifitas yang biasa kita lihat di televisi, mereka mengonsumsi larva dari sarang tiwan (tawon), yang bentuknya persis seperti ulat sagu namun ukurannya lebih kecil. Setelah sarang tawon atau tiwan diasapi agar tawonnya mati dan tidak menyengat, mereka mengambili larva-larva yang ada di dalam sarang tersebut. Beberapa dari kami ikut membantu, namun tidak denganku. Rasanya belum shanggup aku memegangnya.. Yang paling semangat adalah para balitanya, Rafa dan Fajar. Wajahnya serius dan teliti sekali mengambil larva dalam sarang, murni tanpa ada sedikitpun rasa jijik. Mantap!

            Ba’da isya kami yang wanita sudah terlelap, malam terasa begitu panjang. Hingga kerap kali kami tebangun. Rasa-rasanya sudah shubuh, namun begitu melihat jam, masih pukul 01.00 dini hari. Dan seterusnya, setiap beberapa jam sekali aku terbangun, rasanya tidurku sudah cukup.

Hari terakhir di kampung Cibuyutan, sang ibu mengajak kami menginap semalam lagi di rumahnya :’) rasanya tidak ingin dilepas lagi momen berharga ini. Pagi hari sarapan kami ditemani oleh gorengan tahu dan tape, nikmatnya. Aktifitas perbaikan MCK masih berlanjut, yang hanya dilakukan oleh laki-laki, dan sebagian perempuan tetap tinggal di dapur. Sedang sebagian dari kami membuat papan peringatan untuk MCK umum di sana, seperti “Lepas Sendal Sebelum Masuk” dan “Jangan Buang Sampah Sembarangan”.





            Terakhir setelah semua program terlaksana (alhamdulillah),  datanglah saat untuk melakukan penutupan acara. Para peserta kembali berkumpul pukul 14.00 di lapangan sekolah. Namun ada satu hal yang masih menyangkut dipikiranku. Alat besar itu, alat pembangkit listrik tenaga surya yang ada di belakang sekolah itu. Kulihat pak Mista sedang berbincang dengan beberapa mahasiswa, kudatangi mereka dan ikut menyimak pembicaraannya. Kuminta bantuan salah seorang dari mereka, Irene namanya, kupinta bantuannya untuk menerjemahkan pertanyaanku tentang sumber alat tenaga surya itu. Setelah pertanyaan dilontarkan, jawaban pak Mista sungguh memuaskan rasa penasaranku, “éta téh ti pemeréntah, ti gubernur Jawa Barat”, reflek senyumku mulai mengembang. Pak Mista kembali melanjutkan, “alatna didatangkeun ti Bandung, insyaAllah tilu bulan deui bérés...”
“ti bapak Ahmad heriawan pak?” pertanyaan retoris reflek terlontar saking bahagianya, ternyata benar inisiatif ini datang dari pemerintah. “iya, ti pak Aher..” jawab pak Mista. Alhamdulillah... 




Kini, penerangan di kampung Cibuyutan bukan lagi hanya mimpi, tapi akan menjadi tagline seperti yang ada di bioskop-bioskop. Coming Soon.
 




Tatap tegaklah masa depan
Tersenyumlah tuk kehidupan
Dengan cinta dan sejuta asa
Bersama membangun Indonesia

Bangkitlah negeriku harapan itu masih ada
Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang

(ShouHar - Bangkitlah Negeriku)

 

Cibinong, 15 oktober 2013