Powered By Blogger

Monday, May 25, 2015

Yayasan Indonesia Tangguh e-Magz edisi pertama

Pada akhirnya, manusia cerdas adalah mereka yang tahu siapa dirinya. Bertanggung jawab atas kepemimpinannya terhadap diri sendiri. Sejatinya, entah itu Presiden atau Ketua RT, keduanya tetaplah warga Negara; pelayan. Seperti halnya manusia, jin dan malaikat, ketiganya tetaplah ciptaan Tuhan; hamba.

Selengkapnya:
Baca Yayasan Indonesia Tangguh e-Magz edisi pertama di tinyurl.com/YITmagz



Friday, May 22, 2015

Singkat Saja



                Sadarkah kita bahwa semakin hari semakin banyak saja peraturan yang tidak jarang bertentangan dengan kondisi kita hari ini. Salah satunya adalah Permendikbud No. 49 tahun 2014 pasal 17 ayat 3 huruf d yang jelas sangat berkaitan dengan mahasiswa, khususnya mahasiswa strata satu (S1). Dalam peraturan itu disebutkan, terhitung mulai tahun akademik 2014-2015 mahasiswa diberi batasan masa studi maksimal 5 tahun.  Padahal sebelumnya mahasiswa diberi batasan menyelesaikan studi strata satunya hingga 7 tahun. Secara umum, peraturan ini dinilai sebagai upaya pemerintah untuk membungkam sikap kritis dan daya cipta mahasiswa ketika belajar di luar ruang kuliah. Padahal, belajar itu bukan hanya hal-hal yang berkaitan akademik bukan, hal yang kita sebut sebagai non-akademik mampu menciptakan pembelajaran juga bukan?
                Hal ini pernah dikaji di kampus UNJ yakni salah satunya melalui kajian Departemen Kaderisasi BEM FBS 2014. Dengan mengambil fokus tema “Unek-unek Permendikbud No. 49 tahun 2014”, kajian saat itu berusaha menjawab kegelisahan atas pembatasan masa kuliah mahasiswa program sarjana (s1) yang tertera dalam Permendikbud No. 49 tahun 2014 pasal 17 ayat 3 huruf d. Kajian yang difasilitatori oleh Sandi Nurmansyah selaku kepala departemen Dalam Negeri BEM UNJ 2014 kala itu dibuat guna membantu menjawab kegelisahan para pengurus organisasi se-UNJpada tahun mendatang.
                “Tahukah teman-teman apa alasan dibalik turunnya Permedikbud no. 49 ini?” tanya ka Sandi dalam membuka diskusinya bersama kami. Kemudian satu persatu peserta kajian mulai mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan opini mereka. Ada yang bilang bahwa, “Pemerintah sebenarnya ingin menyeimbangkan mahasiswa baru yang masuk ke universitas dan mahasiswa yang lulus dari universitas. Sebab jika batas kuliah dibuat menjadi maksimal 7 tahun, mahasiswa yang masuk dan lulus dari kampus tak akan pernah seimbang”. Lebih dari itu, alasan masa depannya adalah terwujudnya Masyarakat Ekonomi Asean (2015) yang mengharuskan mahasiswa segera lulus dan berlomba dengan pihak asing dalam mencari pekerjaan nantinya, maka mereka harus dilepas lebih cepat dari kampus, agar mampu bersaing, katanya.[1]
                Kini kita mulai menyadari singkatnya waktu yang diberikan di kampus, tentu akan berdampak pada idealisme dan cara belajar mahasiswa. Belajar hanya akan terpaku pada sutuasi di dalam kelas, belajar hanya akan diidentikkan dengan hardskill atau keahlian dalam bidang ilmu pengetahuan. Padahal softskill juga diutamakan di dunia kerja nanti yang banyak didapatkan melalui organisasi kampus, sebab softskill dibagi kembali menjadi dua, yakni personal dan inter personal. Softskill personal adalah kemampuan yang di manfaatkan untuk kepentingan diri sendiri. Misalnya, dapat mengendalikan emosi dalam diri,  dapat menerima nasehat orang lain, mampu memanajemen waktu, dan selalu berpikir positif. Sedangkan softskill inter personal adalah kemampuan yangg dimanfaatkan untuk diri sendiri dan orang lain. Contohnya,  kita mampu berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain, bekerja sama dengan kelompok lain, dsb. Bukankah ini begitu identik dengan pembelajaran dalam organisasi? Namun, bagaimana jika mahasiswa merasa terbatasi, merasa tertekan dengan batas maksimal kuliah lima tahun? Bagaimana jika kaderisasi organisasi mati dalam dunia mahasiswa? Mari kita sama-sama berpikir kembali dan mencari jalan terbaik.
                Dalam sistem demokrasi kampus yang mana menganut demokrasi negara, sesuai dengan trias politica, kampus memiliki lembaga eksekutif dan legislatif minus yudikatif. Ketika setiap daerah hingga pusat memiliki badan eksekutif, maka sewajarnya lembaga legislatif pun membersamai. Namun, dengan batas maksimal kuliah menjadi 5 tahun akankah hal ini tetap realistis? Dua tahun pertama menghabiskan waktu organisasi di jurusan, tahun ketiga di fakultas, dan tahun terakhir di pusat (universitas)? Sungguh tidak mudah bagi mahasiswa dengan alur organisasi sepanjang itu dalam waktu lima tahun.
                Sempat menjadi perbincangan badan eksekutif untuk menghapus opmawa tingkat fakultas suatu hari nanti, sebab massa yang paling optimal hubungannya dengan mahasiswa dan birokrat adalah pada tingkat jurusan dan universitas, sedangkan tingkat fakultas dianggap sebagai organisasi yang agak kebingungan. Mengapa? Karena siapa yang akan diadvokasi jika jurusan telah memiliki lembaganya sendiri dan toh fakultas pun bukan sebagai lembaga tertinggi di kampus karena masih ada lembaga tingkat universitas. Jalan lainnya adalah dengan memangkas generasi, artinya mahasiswa baru boleh mencicipi struktur kepengurusan tingkat fakultas ditahun pertamanya, dan melanjutkan hingga lembaga universitas sampai tingkat ketiganya. Pada tahun keempat (yang mana biasanya berada di organisasi universitas), dia tak akan lagi memegang jabatan di organisasi sebab mahasiswa tingkat bawahnya yang akan meneruskan, dan inilah kebaikan dari sistem potong generasi. Itulah ide-ide yang lahir dari beberapa diskusi lembaga eksekutif.
                Lain halnya dengan lembaga legislatif, meskipun saya belum pernah mendiskusikannya dengan rekan-rekan legislatif, namun saya mencoba menganalisis dari segi kebutuhan atau need assessment, menaksir kesenjangan antara harapan dan kenyataan agar tak terlalu jauh. Dalam legislatif negara, setidaknya  terdapat   2  (dua)   UU   yang   menyebutkan   dan   mengatur   secara   implisit   mengenai pembentukan fraksi pada lembaga legislatif, diantaranya Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,  DPR,  DPD,  dan  DPRD. Mengenai  Definisi  dari  fraksi  tidak  disebutkan  dalam undang-undang tersebut diatas. Namun setidaknya fraksi dapat diartikan pengelompokan anggota legislatif (MPR, DPR, dan DPRD) yang mencerminkan konfigurasi Partai Politik.[2] Artinya, dalam dunia legislatif kampus, fraksi dianggap sebagai  pengelompokan anggota legislatif yang mencerminkan konfigurasi daerah masing-masing, yakni tentu saja jurusan dan fakultas. Jika fraksi jurusan telah mewakili dengan optimal di jurusan masing-masing dan fraksi fakultas telah tercover dalam lemleg pusat (MTM UNJ) maka untuk apalagi ada lemleg tingkat fakultas?
                Faktanya, permasalahan tidak selesai sampai di situ saja. Tidak adanya lemleg dalam setiap jurusan ternyata menjadi hambatan bagi terwakilinya suara daerah dalam setiap fakultas. Kemana jurusan tersebut harus memberi aspirasinya? Dan oleh siapa lembaga eksekutif jurusan diawasi? Hal ini menjadi penunjuk bahwa lemleg fakultas merupakan hal yang begitu penting, sebab idealnya lemleg fakultas merupakan lembaga perwakilan mahasiswa yang telah diakui dan dapat mewadahi seluruh jurusan dengan (cukup) mengirimkan utusan jurusan yang akan membentuk fraksi dalam lemleg fakultas tersebut. Ini sungguh berbeda dengan keadaan lembaga eksekutif yang mana setiap daerah telah berdiri secara independen, artinya mereka memiliki lembaga eksekutif yang legal di setiap jurusan dan fakultas dan tidak membutuhkan utusan atau apapun. Solusi yang saya tawarkan melihat kondisi tersebut adalah dengan:
1. Menghapus lemleg tingkat jurusan dan memotong generasi dengan mempersilakan mahasiswa baru untuk mewakili jurusannya melalui utusan fraksi di lemleg fakultas, sehingga di tahun mendatang ia mampu mewakili daerahnya pada lemleg tingkat universitas
2. Mengadakan lemleg pada setiap jurusan dan meniadakan lemleg tingkat fakultas (seiringan dengan rencana lembaga eksekutif untuk menghapus bem tingkat fakultas)
                Pada akhirnya ini semua dikembalikan kepada kedua belah lembaga, yakni eksekutif dan legislatif untuk mencari formula terbaik guna menyiasati masa akademik yang hanya lima tahun. Memperhatikan akademik tanpa menyingkirkan dunia non-akademik (read: organisasi). Saya pikir ini harus lah menjadi perbincangan dan diskusi yang hangat antara badan eksekutif dan badan legislatif, sebab ini menjadi keperluan bersama, masa depan bersama, keluarga Organisasi Pemerintahan Mahasiswa.

Milka Anggun - Mahasiswa UNJ 2011


[1] Rilis Pers Kajian Kaderisasi BEM FBS 2014