Dalam
teori John Locke (1632-1704) seorang filosof Inggris yang pada tahun 1690 yang menerbitkan
buku “Two Treties on Civil Government”, ia
mengemukakan adanya tiga macam kekuasaan di dalam Negara yang harus diserahkan
kepada badan yang masing-masing berdiri sendiri. Salah satunya tentu kita
mengenal kekuasaan legislatif. Menurut definisi dari wikipedia, “Legislatif adalah badan deliberatif
pemerintah dengan kuasa membuat hukum. Legislatif dikenal dengan beberapa nama,
yaitu parlemen, kongres, dan asembli nasional. Dalam sistem Parlemen, legislatif
adalah badan tertinggi dan menunjuk eksekutif. Dalam sistem Presidentil,
legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas, dari eksekutif.
Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa
untuk menaikkan pajak dan menerapkan budget dan pengeluaran uang lainnya.
Legislatif juga kadangkala menulis perjanjian dan memutuskan perang”.[1]
Dalam teori trias politica dan hubungannya
dengan kehidupan politik kampus hari ini, rasanya masih ditemukan problema yang
itu-itu saja, yakni tidak sinerginya hubungan kerja antara lembaga legislatif
dan lembaga eksekutif. Sederhananya bisa dikatakan bahwa antara si pembuat
kebijakan dan si pelaksana kebijakan tidak berjalan sambil bergandengan tangan.
Padahal semestinya politik kampus sudah berdamai dengan problema semacam itu.
Mengacu
pada peraturan OPMAWA, yakni dalam pasal
20 ayat (2)C dan peraturan
MPA Pasal 11 ayat (4) yang telah dibuat oleh badan legislasi Majelis Tinggi
Mahasiswa (yang selanjutnya disebut dengan MTM), jika dilihat dari kaca mata
lembaga eksekutif tentu peraturan-peraturan tersebut dirasa sangat 'kering', hingga
menjadi hal yang didebatkan dalam pembahasan antara BEM dan MTM. Mengapa?
Sebabnya hanya satu, yakni 'kering'nya toleransi lembaga legislatif terhadap
kultur daerah masing-masing lembaga eksekutif. Anggap saja peraturan yang kemarau
akan kultur atau budaya.
Mengacuhkan
kultur atau budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah dalam membuat
undang-undang adalah hal yang pasti menimbulkan polemik. Sebab kultur atau
budaya adalah hal yang sudah menjadi bagian dari identitas tiap daerah. Perihal
kebudayaan, pernyataan Novinger (2001) rasanya sangat pas untuk menggambarkan
betapa pentingnya sebuah kultur atau budaya, dalam buku Intercultural
Communication ia
menyatakan bahwa, “Culture is communication
and communication is culture”[2].
Ya, begitulah budaya yang dinilai sama pentingnya dengan komunikasi, yang tidak
mungkin terlepas dari kehidupan sehari-hari, sejak terbangun dipagi hari hingga
terlelap dimalam hari, setiap manusia pasti membutuhkan komunikasi.
Maka
bagi saya, lembaga legislatif kampus yang ideal adalah lembaga legislatif yang
mengindahkan kultur atau budaya dari masing-masing daerah. Serta menghargai perbedaan
kultur atau budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah tiap lembaga
eksekutif (tanpa melanggar nilai dan norma yang ada). Dengan adanya toleransi
budaya, bisa dipastikan ketegangan yang terjadi antara lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif kampus hijau hari ini dapat diminimalisir. Ya, sesederhana
itu.
[1]
www.wikipedia/wiki/lembaga_legislatif
[2] Novinger, T. (2001). Intercultural Communication, A
Practical Guide. Dalam T. Novinger, Intercultural Communication, A Practical
Guide (hal. 12). Texas: LIBRARY OF CONGRESS CATALOGING-IN-PUBLICATION DATA.
No comments:
Post a Comment