Kata ka Nisa Rachma, Kartini dikenang lewat tulisan-tulisannya. Pun saya juga mau sepertinya, saya ingin tulisan saya dapat berkesan dan bermanfaat bagi yang membacanya. Kata ka Nisa lagi, biar pun tulisan saya tidak berkesempatan di muat di salah satu koran nasional, tetap harus dishare. Meski hanya di jejaring sosial... Voila!
Kepedulian Mahasiswa terhadap Pilkada
Seperti yang kita semua sama-sama ketahui, mahasiswa memiliki tiga peranan penting, yaitu: Agent of change, Social control, dan Iron stock. Setelah mengetahui peranannya, mahasiswa dituntut untuk bisa menjalani ketiga peranan penting tersebut. Tentu saja sebagai agen perubahan, mahasiswa harus ikut andil dalam proses pengawasan Pilkada hingga pemilihan nanti. Yang pertama kali harus kita lakukan sebagai mahasiswa adalah turut serta mengawasi dinamika proses Pilkada dari awal hingga akhir, apalagi dalam proses penetapan DPS sempat terjadi penggembungan angka. Dari data hasil penelitian P3I (Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia), seharusnya hanya 5.600.660 penduduk Jakarta dalam program e-KTP yang mempunyai hak pilih di Pilkada nanti, namun data DPS menunjukkan adanya pembengkakan angka menjadi 7.044.991 penduduk Jakarta yang memiliki hak pilih, sungguh sangat jauh selisihnya, yaitu sebanyak 1.444.331 DPS. Inilah salah satu peranan kita sebagai mahasiswa, yaitu sebagai ‘Social control’ atau kontrol sosial.
Saat mengetahui adanya kejanggalan tersebut, seharusnya mahasiswa segera sadar dan melakukan tindakan perubahan guna menuju arah perbaikan. Sebagai mahasiswa yang cerdas tentu kita harus melewati tahapan ‘Baca, Tulis, Diskusi’. Pertama, membaca bacaan yang berkaitan dengan berita terbaru tentang Pilkada. Kedua, menuliskan kembali apa yang sudah kita baca menjadi sebuah artikel yang dapat kita bagikan kepada mahasiswa-mahasiswa lainnya. Ketiga, sampailah kita pada tahap diskusi. Setelah melewati tiga tahap tersebut bukan berarti kita telah menjadi mahasiswa yang cerdas seutuhnya, karena tidak akan ada perubahan tanpa adanya tindakan nyata. Sampaikan semua kejanggalan yang ada kepada pihak yang memiliki wewenang dalam penentuan DPS, tuntutlah sebuah perbaikan pada kejanggalan yang terlihat selama proses Pilkada. Sebagai mahasiswa yang cerdas, kita tetap harus memperhatikan adab komunikasi, sampaikan audiensi dengan baik dan kreatif agar pihak yang mengurusi DPS dapat menerima kedatangan, kritik, dan saran kita dengan baik.
Selain masalah penetapan data pemilih, mahasiswa juga harus mengetahui dan mengenal sedikit atau banyak tentang para cagub dan cawagub Jakarta. Dimulai dari visi&misi, hingga rekam jejak kinerja mereka selama ini. Tentu saja Pilkada bukan hanya milik partai politik, maka dari itu sebagai mahasiswa yang cerdas kita juga harus mengambil peran dalam proses Pilkada Jakarta ini, yaitu peran agen perubahan.
Sebagai warga Jakarta tentu kita semua memiliki hak pilih, dan setiap hak pilih tersebut memiliki andil besar dalam menentukan pemimpin seperti apakah yang akan memimpin Jakarta selama lima tahun mendatang? Ke arah manakah Jakarta akan dibawanya? Kebijakan apa saja yang akan kita rasakan nantinya dari pemimpin tersebut? Mulai dari yang terdekat, seperti apakah kebijakannya dalam pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Tentu kita sebagai mahasiswa di salah Perguruan Negeri Tinggi Jakarta akan ikut merasakan kebijakan tersebut selama lima tahun mendatang.
Mahasiswa yang cerdas tidak hanya banyak bicara, menganalisis, dan mengkritisi kinerja pemerintahan, karena tidak ada yang kita dapat dari hasil pembicaraan di belakang layar tanpa adanya suatu tindakan nyata. Mahasiswa yang baik, tentu berani mengingatkan para pemerintah jika mereka melakukan kesalahan. Bukankah saling mengingatkan dalam kebaikan merupakan suatu keharusan bagi setiap insan? ‘Saling mengingatkan’ adalah sebuah tindakan penting yang akan membawa perubahan menuju arah kebaikan. Dalam hal ini salah satu caranya adalah melalui aksi. Yang tentunya kita sebagai mahasiswa terpelajar harus berada dalam lingkaran aksi damai yang jauh dari anarkis. Mengutip perkataan seorang kawan, ‘Aksi memang tidak pernah menjamin perubahan, namun tak akan pernah ada perubahan jika mahasiswa tidak mau beraksi’. Kita tidak akan pernah bisa mengubah suatu kondisi jika kita tidak melakukan suatu tindakan, bukan? Pasif atau diamnya kita bukanlah sebuah solusi yang tepat.
Bagi saya itulah beberapa bentuk kepedulian kita sebagai mahasiswa dalam mengawal proses Pilkada, sebagai mahasiswa yang cerdas dan aktif sudah barang tentu kita harus setia mengawasi proses berjalannya Pilkada. Agar sejalan dengan harapan setiap insan di Jakarta, yaitu proses pilkada yang JurDil (Jujur dan Adil), sehingga bisa dipastikan kepala daerah yang terpilih pun akan serupa, pemimpin yang berkarakter jujur dan adil. Kita peduli pada ibukota tercinta, kota Jakarta. Kita peduli bukan hanya pada lisan saja, karena semua insan pun bisa. Tapi sebagai agen perubahan, kita memiliki hak untuk melakukan ‘action’, yaitu aksi atau tindakan yang nyata dalam memilih pemimpin Jakarta yang baik dan amanah.
Antipati terhadap pengawalan proses Pilkada merupakan bentuk ketidakberdayaan kita sebagai mahasiswa dalam merubah Jakarta. Bentuk ketidakpedulian seperti itu sungguh menunjukkan kemunduran kualitas kita sebagai mahasiswa yang notabene mempunyai peran sebagai agen perubahan. Sebagai mahasiswa yang peduli terhadap Jakarta sudah tentu kita harus aktif mengikuti dinamika proses Pilkada. Di samping itu, kita juga wajib menggunakan hak pilih kita secara bijak. Jangan pernah menyia-nyiakan hak pilih kita, sesungguhnya kita memegang andil perubahan karena masing-masing dari kita pasti membawa misi perubahan menuju ke arah kebaikan. Bayangkan saja apa yang akan terjadi jika kita melalaikan hak pilih kita, kemudian hak pilih tersebut digunakan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal itu hanya akan menggagalkan misi kita dalam membawa Jakarta ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya peranan mahasiswa sebagai ‘Iron stock’. Secara harfiah artinya adalah cadangan besi. Besi merupakan sebuah benda yang keras, kuat, dan kokoh. Artinya mahasiswa seperti sebuah besi yang keras, namun dapat menguatkan dan membuat kokoh suatu bangunan. Makna dibalik istilah tersebut adalah mahasiswa sebagai cadangan kekuatan bangsa. Sekali lagi, cadangan kekuatan bangsa. Bahkan Ir. Soekarno hanya meminta 10 pemuda saja untuk mampu mengguncang dunia. Pemuda intelektual adalah sebutan bagi para mahasiswa. Sebagai mahasiswa aktif seharusnya kita mampu mempertanggungjawabkan label tersebut. Pemuda harus seperti besi yang punya kekuatan hebat dan banyak manfaatnya bagi orang lain. Sesungguhnya kekuatan intelektual yang kita miliki harus bisa digunakan untuk menolong bangsa ini dari keterpurukan, khususnya dalam momen Pilkada Jakarta nanti. Mahasiswa sebagai cadangan kekuatan bangsa harus mampu memperjuangkan Kejujuran dan Keadilan dalam proses Pilkada. Selain memperhatikan dinamika proses Pilkada, mahasiswa juga harus aktif menjadi pemilih. Karena satu suara kita sangat berarti, satu suara berarti satu kekuatan bagi para cagub dan cawagub terbaik untuk mampu terpilih sebagai pemimpin Jakarta selama lima tahun ke depan, yaitu periode 2012 sampai dengan 2017.
Sebagai cadangan kekuatan bangsa sudah sepatutnya mahasiswa ikut berpartisipasi dalam Pilkada, dari mengawal prosesnya hingga ikut aktif menjadi pemilih. Kerja kita bukan hanya mengkritisi kerja para pemerintah, tapi juga harus mengingatkan. Apabila kita tidak puas dengan kinerja suatu pemerintahan, berbicara di belakang bukanlah karakter pemuda intelektual. Mahasiswa harus berani mengingatkan kinerja pemerintah yang dianggap buruk, toh ini negara demokrasi, bukan? Jika digambarkan seperti besi, tentunya mahasiswa harus keras terhadap setiap kesalahan suatu pemerintahan yang sudah terbukti kejanggalannya. Kita adalah mahasiswa yang keras, namun justru menguatkan karena telah memberi kritik dan saran yang membangun untuk pemerintah. Mahasiswa harus malu dan bangkit jika ternyata mereka masih saja disebut Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Sungguh peribahasa itu tidak sepantasnya diberikan untuk kita yang notabene dianggap sebagai pemuda intelektual.
Siapa lagi yang mau peduli mengawal Pilkada Jakarta ini kalau bukan pemuda intelektual? Haruskah kita menunggu orang tua kita atau adik-adik kita untuk bergerak? Padahal sesungguhnya kitalah mahasiswa yang notabene aktif dalam melakukan penelitian, yang seharusnya sigap mengikuti perkembangan dari proses pelaksanaan Pilkada Jakarta agar menghasilkan kepala daerah yang baik. Pilkada yang JurDil yaitu yang Jujur dan Adil tidak hanya diperoleh dari tuntutan-tuntutan mahasiswa saat turun ke jalan, namun membutuhkan tindakan nyata dari mahasiswa sendiri. Jujur saat memilih, kita memilih bukan karena imbalan materi tapi dari nurani pribadi. Nurani sungguh tak bisa ditipu, hati kita pasti mengenal siapa calon pemimpin yang terbaik untuk memimpin Jakarta selama lima tahun mendatang. Kita pun harus bersikap adil, salah satunya dengan cara menggunakan hak pilih kita. Sungguh sebuah ketidakadilan bagi pihak-pihak yang memang sama sekali tidak mau melakukan kecurangan. Karena jika mahasiswa mengabaikan hak pilihnya, tentu akan ada banyak pihak yang ingin mengambil kesempatan untuk kemudian melakukan kecurangan.
Kesimpulannya, mahasiswa yang cerdas pasti mampu memainkan peranannya dengan baik. Yaitu sebagai Agent of change, Social control, dan Iron stock. Kita mampu menjadi agen perubahan, pengontrol sosial, dan cadangan kekuatan bangsa. Kita juga mampu menunjukkan kontribusi aktif kita dalam Pilkada Jakarta, mulai dari mengawasi proses pelaksanaan Pilkada sampai ikut aktif menjadi pemilih. Kita bukan hanya mampu mengkritisi setiap kejanggalan yang ada, melainkan juga ikut serta dalam memperbaikinya. Hidup Pilkada JurDil!
Oleh:
Milka Anggun
Pendidikan Bahasa Prancis
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
No comments:
Post a Comment