Bismillahirrahmaanirahiim.
Aku mulai jenuh, kawan. Butuh rutinitas baru yang super sekali manfaatnya. Seperti jaman SMA dulu… Ah, tapi itu dulu. Sekarang aku butuh sesuatu yang menyibukkanku dengan hal yang baik, kawan, agar diriku juga jadi baik. Aku rela disuntik berkali-kali oleh hal baik agar kualitas ruhiyahku meningkat, maka inilah salah satu upayaku, searching in internet…
Dari situs: http://pksaceh.net/menata-ruhiyah-demi-dakwah/
Kiat membina ruhiyah
Ada beberapa kiat dalam rangka melatih kekuatan ruhiyah dalam diri kita.
Pertama, tajarrud ‘anid dunya. Mulai saat ini, pandangan hidup kita terhadap materi keduniaan harus diubah secara total. Bahwa materi keduniaan (harta benda dan kedudukan/jabatan) hanyalah alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan akhir. Sehingga kita tidak menghalalkan segala cara untuk memenuhi setiap keinginan.
Kedua, senantiasa menjaga diri agar tetap berada di jalan kebenaran yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya serta waspada terhadap godaan-godaan menggiurkan yang dapat memalingkan dari jalan-Nya.
Ketiga, memerangi syetan dengan segala tipu dayanya. Imam Al-Ghazali menempatkan syetan sebagai musuh utama manusia dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Syetan akan selalu menggoda manusia dengan berbagai tipu dayanya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar senantiasa berlindung dari godaan syetan yang terkutuk.
Keempat, membiasakan diri bangun di tengah malam mengerjakan shalat malam dan berpuasa pada siang harinya.
Kelima, meningkatkan muhasabah, muraqabah, mu’aqabah dan mujahadah dalam rangka meningkatkan ketaqwaan.
Keenam, sering bergaul dengan masyarakat –terutama masyarakat bawah– sehingga dengan sendirinya dapat merasakan penderitaan mereka. Dan berusaha dengan sekuat tenaga turut meringankan beban yang mereka alami. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Dari situs: http://www.almanar.co.id/artikel-asatidzah/faktor-penguat-iman.html
Memurnikan ibadah hanya kepadaAllah SWT.
Maksudnya adalah memberikan hak uluhiyah secara sempurna, berupa pengagungan, cinta, dan ketundukan secara mutlak. Untuk itu, ada tiga hal yang dapat dilakukan, yaitu:
Tidak mencari Tuhan lain untuk diagungkan sebagaimana ia mengagungkan Allah.
”Katakanlah, apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu….” (al-An’am: 164)
Jadi, segala sesuatu yang oleh manusia dijadikan Tuhan harus digugurkan atau dihilangkan.
Tidak menjadikan selain Allah sebagai wali, sebagaimana Allah berfirman,
“Katakanlah, ‘Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama sekali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (al-An’am: 14)
Konsekuensi tauhid menuntut seseorang untuk memurnikan cintanya kepada Allah dan tidak menjadikan pesaing yang ia cintai sebagaimana cintanya kepada Allah, sebab wilayah (cinta kasih, pelindung, dan loyalitas) hanyalah untuk Allah.
“Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah, Dialah pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang-orang yang mati, dan Dia adalah Maha kuasa atas segala sesuatu.” (asy-Syura: 9)
Tidak mencari hakim selain kepada orangorang yang menaati hukum dan ketentuan Allah, sebagaimana ia taat kepada-Nya.
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka, janganlah kamu sekalikali termasuk orang yang ragu-ragu.” (al-An’am: 114)
Sebab itu, hak untuk menghukumi dan membuat perundang-undangan bagi hamba-Nya dalam urusan agama dan dunia mereka hanyalah Allah SWT semata.
Berlepas diri dari orang-orang yang menyembah atau memberikan loyalitasnya kepada thagut (orang yang melampaui batas).
Berlepas diri dari thagut dan menyatakan diri beriman hanya kepada Allah SWT dapat menjadi barometer bertambahnya keimanan, sebagaimana ia telah berpegang teguh kepada tali agama Allah dengan kuat (al-Baqarah: 256). Hal ini juga yang akan membedakan seorang mukmin dengan orang yang sekadar menyatakan beriman, sedangkan keimanannya tidak terealisasi dalam bentuk pengingkaran terhadap segala macam bentuk kebatilan dan berlepas diri dari penganutnya.
Menghindari kemusyrikan dan berhati-hati darinya.
Mulai dari bentuk musyrik yang besar hingga bentuk musyrik yang kecil, yang tidak tampak di depan mata. Ia senantiasa membebaskan diri dari segala hal yang berbau syirik, dan pada saat yang sama mewaspadai jendela dan pintu-pintunya. Itulah sebabnya, Al-Qur’an memvonis Ahli Kitab dengan menamakan mereka sebagai musyrikin oleh karena mereka memberikan hak pembuatan syariat kepada pendeta dan rahib, lalu mereka menaati apa yang dihalalkan atau haramkan. Al-Qur’an menyejajarkan hal ini dengan penyembahan mereka terhadap al-Masih bin Maryam.
Meningkatkan ruhiyah.
Iman itu senantiasa bergerak naik dan turun. Seorang hamba, dalam melaksanakan tugasnya kepada Allah, juga pasti mengalami fluktuasi iman tersebut. Saat kei-manannya menurun, tentu saja berdampak terhadap aktivitas ibadahnya, seperti malas. Saat inilah seorang Muslim dituntut untuk senantiasa memperbaiki, dan meningkatkan kualitas ruhiyahnya. Jangan pernah ada kata malas dalam meningkatkan ruhiyah. Kemudian, ia mengupayakan membaca Al-Qur’an setiap saat dan berusaha men-tadabbur-inya, meningkatkan ibadahibadah sunnahnya, terutama shalat malam, dalam rangka mendapatkan energi yang lebih besar dari Allah melalui komunikasi dengannya di malam hari.
Kesehatan fisik.
Faktor yang terakhir ini juga tidak kalah pentingnya dalam menambah kekuatan iman oleh sebab dengan badan yang sehat, maka seorang hamba akan mampu melakukan aktivitas ibadahnya dengan baik pula. Ibadah akan terasa nikmat kalau fisiknya sehat dan kuat. Bila kondisi tubuh menurun, apalagi sakit, acapkali pelaksanaan ibadah mengalami “ketidaksempurnaan”. Bila ini terjadi terus- menerus, pastilah akan mempengaruhi amal ibadahnya dan selanjutnya berimbas kepada keimanannya.
Seorang Muslim sejati hendaknya menyadari pentingnya keimanan yang kuat pada dirinya, dan meneguhkan pendiriannya agar tetap pada aqidah yang benar sehingga apabila ia hidup pada lingkungan masyarakat sekitarnya, ia laksana gunung yang tinggi yang tidak mudah goyah oleh ombak dan gelombang yang besar sekalipun. Yakinlah bahwa pendirian dan iman yang kuat itu akan mengantarkan kepada kemampuan untuk memelihara amanah Allah.
“Abdullah bin Abas berkata, ‘Pada suatu hari aku berada di belakang Nabi Muhammad saw., lalu beliau bersabda, ‘Wahai pemuda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat sebagai berikut. Peliharalah perintah Allah, maka Allah akan memeliharamu, dan peliharalah larangan Allah, niscaya engkau dapati Allah selalu dihadapanmu. Apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah dan apabila kamu meminta pertolongan, mintalah pertolongan Allah.’” (HR Turmudzi).
Wallahu a’lam bish-shawab.
No comments:
Post a Comment