Perbedaan merupakan hal yang tak sejalan,
benarkah? Sesederhana itukah kita memaknai sebuah perbedaan? Jika iya, mari
sama-sama kita beranjak pergi menuju sebuah halte pemberhentian bus terdekat
dari jarak kita duduk atau berdiri sekarang ini. Berhenti sejenak dan mari
perhatikan, begitu banyaknya orang-orang yang masuk dan keluar dari bus, begitu
banyak mereka yang lalu lalang melewati diri kita sekarang ini. Perhatikan
dengan seksama dan jawablah pertanyaan sederhana ini, “apakah mereka semua tampak
sama? Tampak serupa?”, tentu jawabannya adalah tidak.
Asumsinya
ketika kita dalam keadaan menunggu, bisa dipastikan kita semua akan
memperhatikan keadaan sekitar, seperti kendaraan yang berjalan, gedung-gedung
tinggi, terlebih orang-orang yang bergerak ke sana ke mari, dan tanpa sadar
kita baru berhenti memperhatikan itu semua saat bus yang kita nanti datang
menjemput. Mengapa? Karena mata kita menangkap PERBEDAAN dari apa yang baru
saja kita lihat. Kita melihat dan kita menilai perbedaan-perbedaan tadi, ada
yang menilai dengan prasangka negatif dan ada pula yang menilai dengan
prasangka positif, semuanya bergantung pada tiap individunya. Sebaliknya, apabila
wajah yang kita pandang semuanya sama, orang-orang memiliki hidung yang sama, mata
yang sama, pakaian yang sama, kendaraan yang lalu lalang juga memiliki bentuk
dan warna yang sama, serta semua gedung itu juga sama tingginya. Apa yang akan
kita rasakan? Pasti terasa bosan dan hambar, tidak ada yang menarik dan perlu
dinilai. Maka begitulah saya memaknai indahnya perbedaan.
Kini
persaudaraan dan perbedaan adalah dua hal yang terikat. Dan tahukah kita bahwa
hal tersebut dapat diikat salah satunya dengan tali komunikasi? Ya, tentu saja.
Namun kali ini saya tidak akan membahas komunikasi secara general, melainkan
mengenai komunikasi antarbudaya. Mengapa saya harus mengaitkan
komunikasi antarbudaya dengan perihal persaudaraan? Sebab saya
mengacu pada perkataan Rasulullah Saw dalam dua hadits yang insyaAllah
disampaikan dari perawi yang shahih mengenai urgensi persaudaraan. “Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya)
bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan” Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Lebih dari itu Imam Muslim kembali
menguatkan urgensi ukhuwah islamiyyah
dengan meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi,
dan saling berempati, bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan
sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan
demam”. MaasyaaAllah, bukan?
Sebelum
beranjak lebih jauh mengenai persaudaraan dan perbedaan, saya akan mencoba
mencari benang merah dari makna perbedaan dalam komunikasi antarbudaya, di mana
ia merupakan sebuah fenomena yang akan kita temukan setiap waktunya, termasuk
dalam hal BERSAUDARA. Menurut Novinger
(2001) dalam bukunya yang berjudul Intercultural
Communication, A Practical Guide. “By nature, communication is a system of
behavior. And because different cultures often demand very different behaviors,
intercultural communication is more complex than communication between persons
of the same culture.”[1] Kawan, sebuah
keniscayaan jika komunikasi antarbudaya ini terasa lebih kompleks dibanding komunikasi
dengan mereka yang terlahir dari latar belakang budaya keluarga yang sama.
Jangan salahkan diriku, dirimu, atau diri mereka. Carilah pembenaran bahwa
perbedaan adalah sebuah nikmatNya.
Kita
memang hidup dalam lingkungan pendidikan yang sama, tapi tetap saja kita
terlahir dari kultur keluarga yang
berbeda. Maka ketika perbedaan adalah sebuah keniscayaan, masih pantaskah kita
menghindari keadaan? Berbicara persaudaraan
atau ukhuwah, ternyata benar
masih ada korelasinya dengan komunikasi antarbudaya. Ukhuwah islamiyyah atau persaudaraan islam, merupakan hal yang
mutlak, bersaudara karena agama, karena Allah. Namun dari segi budaya, kita
akan menemukan banyak perbedaan. Bisa jadi kita akan menemukan banyak hambatan dalam melaksanakan
persaudaraan islam jika kita tidak memahami komunikasi antarbudaya dengan benar.
Di
sisi lain, bukan hanya sekedar perbedaan yang menjadi penyebab utama terhambatnya
sebuah persudaraan, melainkan juga efek dari p-r-a-s-a-n-g-k-a. Sungguh begitu
manis madu ukhuwah ini jika kita
mampu menyaringnya dari sarang-sarang prasangka yang ada. Analoginya, bagi banyak
individu madu tidaklah nikmat jika disantap langsung dari sarangnya, maka
saringlah madu tersebut terlebih dahulu. Begitu pula dengan persaudaraan, ia tidak nikmat jika disantap dengan
prasangka, dan analogi tadi telah mengajarkan kita untuk menyaring ukhuwah dari sikap prasangka. Kemudian untuk
memperkuat argumen tentang menyaring prasangka, saya mencoba mengacu pada
argumen Allport, 1979 dalam buku Teaching and Assessing Intercultural
Communicative Competence milik Michael Byram, “Such attitudes are frequently characterised as prejudice or
stereotype, and are often but not always negative, creating unsuccessful
interaction.”[2]
Menilai sikap atau perilaku seseorang berdasarkan prasangka merupakan hal yang
KLISE. Allport memang menggambarkan bahwa prasangka tidak melulu melahirkan
sesuatu yang negatif, lagi-lagi bergantung pada individunya. Namun pada
akhirnya ia menutup dengan argumen di mana prasangka dapat menciptakan
KEGAGALAN dalam sebuah interaksi, dalam hal ini bisa juga kita kaitkan dengan
komunikasi. Kawan lihat, betapa menyeramkan bukan sebuah prasangka? Maka
hindarilah ia. Sebab kawan, Allah telah mengingatkan kita bersama firmanNya
dalam Qs. Al-Hujurat: 12, “Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sesungguhnya
sebagian prasangka adalah dosa...”.
Bagi
saya, mengakui dan menghargai perbedaan,
serta menghindari prasangka adalah
dua hal yang harus kita tanamkan dalam bersaudara guna membangun komunikasi
yang baik antar sesama kawan yang pastinya memiliki latar belakang kultur yang tidak
pernah sama. Ibaratnya, keluarga kawan A senantiasa makan siang dengan tempe
goreng, sedang kawan B harus makan siang dengan semur tahu karena sudah menjadi
sebuah kebiasaan, maka mudah saja ketika mereka sedang bersama. Cari warteg
terdekat kemudian pilihlah menu masing-masing, selanjutnya makan siang tetap
terlaksana bersama-sama. Sesederhana itu kawan :)
Milka Anggun
Mahasiswi Semester VI
Jurusan Bahasa Prancis - UNJ
[1] Novinger, T. (2001). Intercultural Communication, A
Practical Guide. Dalam T. Novinger, Intercultural Communication, A Practical
Guide (hal. 4). United States of America: LIBRARY OF CONGRESS
CATALOGING-IN-PUBLICATION DATA.
[2] Byram, M. (1997). Teaching and Assessing Intercultural
Communicative Competence Multilingual Matters (Series). Dalam M. Byram, Teaching
and Assessing Intercultural Communicative Competence (hal. 37). England:
Multilingual Matters.
No comments:
Post a Comment