Suatu hari di kampus tarbiyyah itu, kudengar kisah menakjubkan, sederhana namun
menyentuh relung hati. Sesosok teladan yang bercerita melalui pribadinya bahwa
untuk membelai nurani, tidak mesti melalui lisan yang mumpuni. Bahwa untuk
menarik hati, tidak mesti dengan lembaran materi. Tetapi untuk menyentuh hati
cukuplah dengan pribadi yang dekat dengan Ilahi, dan itu terbukti.
Kulihat
ia bukanlah sosok yang istimewa, begitu sederhana, tiada sempurna, namun
akhlaknya begitu mempesona. Sesosok sederhana yang senang menyapa kala bertemu
saudaranya, “Assalaamu’alaikum..”,
ucapnya senantiasa dengan senyum gembira, bersahaja. Sesosok yang tiada banyak
kata, tetapi sekalinya berucap, muatannya penuh makna. Urusan saudaranya yang
belum membayar uang kuliah, menjadi urusannya. Urusan saudaranya yang belum
mengecap indahnya mengenal Allah, menjadi tugas besarnya. Urusan saudaranya
kala terseok dalam barisan dakwah, menjadi tanggung jawab tangannya. Itulah dia,
sosok bersahaja nan tetap sederhana.
Kudengar
ia bukanlah sosok yang pandai bicara, biasa saja, bahkan aksen medok daerahnya
tak pernah hilang meski telah hidup sekian lama di Jakarta. Suatu ketika ia
mengisi kajian keIslaman di kampus tercinta, dan benarlah ternyata apa kata
mereka, baru aku dengar orasinya yang biasa saja, ia banyak tersendat kala
berbicara. Tetapi apa yang membuatnya tetap bersahaja? Cukup dengarkanlah apa
yang diucapkannya, muatannya. Rasakan ghirahnya terhadap Islam, begitu
meresap ke dalam dada. Ternyata ciri khasnya adalah dengan qaulan layyinan, berkata dengan perkataan yang lemah lembut dan begitu
dalam maknanya.
Namanya
begitu tersohor dikalangan halaqah kampus, namun bukan karena dirinya yang
senang tampil di muka umum, bukan pula karena tampilannya yang istimewa,
melainkan tersohor karena begitu banyak mahasiswa yang terbina dengan
tangannya. Hiruk pikuk kampus ternyata tidak menyurutkan semangatnya dalam
menebar cinta Ilahi, padahal begitu beragam karakter dan kultur yang ada di
kampus tarbiyyah ini, dari mulai yang
akademis, organisatoris, sampai yang nongkrong-nongkrong ‘miris’. Objek
dakwahnya tidak tanggung-tanggung menunggu siapa yang mau mengaji, tetapi
langsung mencari siapa yang belum mengaji, kalau boleh masuk kategori, sasaran
yang paling disenanginya adalah anak-anak tongkrongan yang akademis tidak,
organisatoris pun tidak. Pertanyaannya, mengapa ia begitu berani?
Kunci
keberanian dari ghirah Islamnya yang begitu tinggi, adalah tidak lain tidak
bukan tersebab kedekatan jiwanya kepada Ilahi Rabbi, Allah ‘Azza wa Jalla. Tetapi aku tidak cukup puas, aku butuh
mendengar cerita-cerita lain tentang kesehariannya, sebab aku melihat begitu
banyak orang shalih yang kelihatannya dekat –bahkan sangat dekat— kepada Ilahi,
tetapi ghirah membinanya tidak membumbung tinggi. Terlebih lagi, banyak orang
hebat di luar sana yang jago orasi, tetapi tidak mampu menyentuh hati sedalam
sesosok murabbi yang kukenal ini.
Dalam
kesehariannya, sesosok murabbi itu masih
saja sering datang ke kampus untuk mengisi halaqah, meski ia tiada lagi
memiliki amanah kuliah. Saat itu adalah saat-saat berharga bagi pertemuan
mengaji antara mahasiswa baru dan murabbi-nya,
sebab tahun ajaran baru adalah masa awal yang begitu menggoda, yang mampu
menjadi saksi pertemuan-pertemuan selanjutnya. Jurusan seni adalah tempat awal
sosok murabbi luar biasa ini berasal,
yang bahkan aku tak mengerti bagaimana mungkin anak-anak di jurusan seni yang
terkenal begitu antipati terhadap mengaji, bisa menempel padanya. Mana mungkin.
Seiring
bergulirnya waktu, semakin banyak kisah penuh inspirasi yang kudengar
tentangnya. Sampai pada sebuah kisah yang mengantarku pada rasa yang paling
mengharu biru, pada jawaban-jawaban atas rasa penasaranku. Kisah yang mampu
menahan mataku dari berkedip, dan mendekap nafasku selama beberapa detik, yakni
kisah yang menceritakan saat-saat di mana orientasi mahasiswa baru jurusan seni
begitu ramai, bebas, penuh senioritas. Mementingkan canda-tawa keakraban
daripada kualitas perkenalan dalam persaudaraan. Tubuh mahasiswa-mahasiswa baru
itu, penuh coretan dari kaleng-kaleng cat yang warna-warninya berbaur menjadi
satu, mewarnai hamparan kulit para mahasiswa baru itu. Sedangkan senior? hanya ingin
tertawa gembira, menunjuk-nunjuk betapa lucu dan konyolnya mereka. Hingga
tibalah saatnya semua cerita konyol itu terhenti, saat rombongan mahasiswa baru
itu tiba dalam sebuah lingkaran cinta, ada sesosok manusia nan bersahaja yang
tiada banyak bicara, sedang memandangi mereka dengan tatapan cinta. Seketika ia
cari sehelai kain basah, kemudian membersihkan satu persatu binaannya, dan
itulah dia, murabbi tercinta mereka! Allahu, ya Rabb. Aku tak sadar pipiku
seketika basah, menitik air mata ini kala mendengar cerita-cerita halaqah
tentangnya.
Aku
pun sadar bahwa jasa yang telah digoreskannya juga tertanam dalam relung jiwaku,
ternyata sesosok murabbi itu telah
membangun ghirah membina di bawah alam sadarku! Ia telah membuktikan betapa
cinta seorang murabbi dapat
mencairkan hati-hati yang beku dari dekapan Ilahi. Tidak perlu sesosok istimewa
nan popular dan pandai berucap, cukuplah ia yang dekat kepada-Nya, mulia
akhlaknya, dan mampu membasahi jiwa-jiwa yang kering dengan lisannya. Qaulan layyinan, perkataan yang lemah
lembut, yang kedalaman maknanya mampu menyentuh jiwa umat manusia.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun)
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
[Qs. Thahaa : 44]
[Qs. Thahaa : 44]
Tulisan ini telah diikutsertakan dalam lomba menulis inspirasi Sekolah Murabbi dan menjadi hak panitia sepenuhnya.
No comments:
Post a Comment