Sadarkah kita bahwa semakin hari
semakin banyak saja peraturan yang tidak jarang bertentangan dengan kondisi
kita hari ini. Salah satunya adalah Permendikbud No. 49 tahun 2014 pasal 17
ayat 3 huruf d yang jelas sangat berkaitan dengan mahasiswa, khususnya
mahasiswa strata satu (S1). Dalam peraturan itu disebutkan, terhitung mulai
tahun akademik 2014-2015 mahasiswa diberi batasan masa studi maksimal 5
tahun. Padahal sebelumnya mahasiswa diberi
batasan menyelesaikan studi strata satunya hingga 7 tahun. Secara umum, peraturan
ini dinilai sebagai upaya pemerintah untuk membungkam sikap kritis dan daya
cipta mahasiswa ketika belajar di luar ruang kuliah. Padahal, belajar itu bukan
hanya hal-hal yang berkaitan akademik bukan, hal yang kita sebut sebagai
non-akademik mampu menciptakan pembelajaran juga bukan?
Hal ini pernah dikaji di kampus
UNJ yakni salah satunya melalui kajian Departemen Kaderisasi BEM FBS 2014. Dengan
mengambil fokus tema “Unek-unek Permendikbud No. 49 tahun 2014”, kajian saat
itu berusaha menjawab kegelisahan atas pembatasan masa kuliah mahasiswa program
sarjana (s1) yang tertera dalam Permendikbud No. 49 tahun 2014 pasal 17 ayat 3
huruf d. Kajian yang difasilitatori oleh Sandi Nurmansyah selaku kepala departemen
Dalam Negeri BEM UNJ 2014 kala itu dibuat guna membantu menjawab kegelisahan para
pengurus organisasi se-UNJpada tahun mendatang.
“Tahukah teman-teman apa alasan
dibalik turunnya Permedikbud no. 49 ini?” tanya ka Sandi dalam membuka
diskusinya bersama kami. Kemudian satu persatu peserta kajian mulai mencoba
menjawab pertanyaan tersebut dengan opini mereka. Ada yang bilang bahwa,
“Pemerintah sebenarnya ingin menyeimbangkan mahasiswa baru yang masuk ke
universitas dan mahasiswa yang lulus dari universitas. Sebab jika batas kuliah
dibuat menjadi maksimal 7 tahun, mahasiswa yang masuk dan lulus dari kampus tak
akan pernah seimbang”. Lebih dari itu, alasan masa depannya adalah terwujudnya
Masyarakat Ekonomi Asean (2015) yang mengharuskan mahasiswa segera lulus dan
berlomba dengan pihak asing dalam mencari pekerjaan nantinya, maka mereka harus
dilepas lebih cepat dari kampus, agar mampu bersaing, katanya.[1]
Kini kita mulai menyadari
singkatnya waktu yang diberikan di kampus, tentu akan berdampak pada idealisme dan
cara belajar mahasiswa. Belajar hanya akan terpaku pada sutuasi di dalam kelas,
belajar hanya akan diidentikkan dengan hardskill
atau keahlian dalam bidang ilmu pengetahuan. Padahal softskill juga diutamakan di dunia kerja nanti yang banyak
didapatkan melalui organisasi kampus, sebab softskill
dibagi kembali menjadi dua, yakni personal dan inter personal. Softskill personal adalah kemampuan yang
di manfaatkan untuk kepentingan diri sendiri. Misalnya, dapat mengendalikan
emosi dalam diri, dapat menerima nasehat
orang lain, mampu memanajemen waktu, dan selalu berpikir positif. Sedangkan softskill inter personal adalah kemampuan
yangg dimanfaatkan untuk diri sendiri dan orang lain. Contohnya, kita mampu berhubungan atau berinteraksi
dengan orang lain, bekerja sama dengan kelompok lain, dsb. Bukankah ini begitu
identik dengan pembelajaran dalam organisasi? Namun, bagaimana jika
mahasiswa merasa terbatasi, merasa tertekan dengan batas maksimal kuliah lima
tahun?
Bagaimana jika kaderisasi organisasi mati dalam dunia mahasiswa?
Mari kita sama-sama berpikir kembali dan mencari jalan terbaik.
Dalam sistem demokrasi kampus
yang mana menganut demokrasi negara, sesuai dengan trias politica, kampus memiliki lembaga eksekutif dan legislatif
minus yudikatif. Ketika setiap daerah hingga pusat memiliki badan eksekutif,
maka sewajarnya lembaga legislatif pun membersamai. Namun, dengan batas
maksimal kuliah menjadi 5 tahun akankah hal ini tetap realistis? Dua
tahun pertama menghabiskan waktu organisasi di jurusan, tahun ketiga di
fakultas, dan tahun terakhir di pusat (universitas)? Sungguh tidak mudah bagi
mahasiswa dengan alur organisasi sepanjang itu dalam waktu lima tahun.
Sempat menjadi perbincangan badan
eksekutif untuk menghapus opmawa tingkat fakultas suatu hari nanti, sebab massa
yang paling optimal hubungannya dengan mahasiswa
dan birokrat adalah pada tingkat
jurusan dan universitas, sedangkan tingkat fakultas dianggap sebagai organisasi
yang agak kebingungan. Mengapa? Karena siapa yang akan diadvokasi
jika jurusan telah memiliki lembaganya sendiri dan toh fakultas pun bukan sebagai
lembaga tertinggi di kampus karena masih ada lembaga tingkat universitas. Jalan
lainnya adalah dengan memangkas generasi, artinya mahasiswa baru boleh mencicipi
struktur kepengurusan tingkat fakultas ditahun pertamanya, dan melanjutkan
hingga lembaga universitas sampai tingkat ketiganya. Pada tahun keempat (yang mana
biasanya berada di organisasi universitas), dia tak akan lagi memegang jabatan di
organisasi sebab mahasiswa tingkat bawahnya yang akan meneruskan, dan inilah
kebaikan dari sistem potong generasi. Itulah ide-ide yang lahir dari beberapa
diskusi lembaga eksekutif.
Lain halnya dengan lembaga
legislatif, meskipun saya belum pernah mendiskusikannya dengan rekan-rekan
legislatif, namun saya mencoba menganalisis dari segi kebutuhan atau need assessment, menaksir kesenjangan
antara harapan dan kenyataan agar tak terlalu jauh. Dalam legislatif negara, setidaknya terdapat
2 (dua) UU
yang menyebutkan dan
mengatur secara implisit
mengenai pembentukan fraksi pada lembaga legislatif, diantaranya Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan
DPRD. Mengenai Definisi dari
fraksi tidak disebutkan
dalam undang-undang tersebut diatas. Namun setidaknya fraksi dapat
diartikan pengelompokan anggota legislatif (MPR, DPR, dan DPRD) yang mencerminkan
konfigurasi Partai Politik.[2]
Artinya, dalam dunia legislatif kampus, fraksi dianggap sebagai pengelompokan anggota legislatif yang
mencerminkan konfigurasi daerah masing-masing, yakni tentu saja jurusan dan
fakultas. Jika fraksi jurusan telah mewakili dengan optimal di jurusan
masing-masing dan fraksi fakultas telah tercover
dalam lemleg pusat (MTM UNJ) maka untuk apalagi ada lemleg tingkat fakultas?
Faktanya, permasalahan tidak
selesai sampai di situ saja. Tidak adanya lemleg dalam setiap jurusan ternyata
menjadi hambatan bagi terwakilinya suara daerah dalam setiap fakultas. Kemana jurusan
tersebut harus memberi aspirasinya? Dan oleh siapa lembaga eksekutif
jurusan diawasi? Hal ini menjadi penunjuk bahwa lemleg fakultas merupakan hal
yang begitu penting, sebab idealnya lemleg fakultas merupakan lembaga perwakilan mahasiswa yang telah
diakui dan dapat mewadahi seluruh jurusan dengan (cukup) mengirimkan utusan
jurusan yang akan membentuk fraksi dalam lemleg fakultas tersebut. Ini sungguh
berbeda dengan keadaan lembaga eksekutif yang mana setiap daerah telah berdiri
secara independen, artinya mereka memiliki lembaga eksekutif yang legal di
setiap jurusan dan fakultas dan tidak membutuhkan utusan atau apapun. Solusi
yang saya tawarkan melihat kondisi tersebut adalah dengan:
1. Menghapus lemleg
tingkat jurusan dan memotong generasi dengan mempersilakan mahasiswa baru untuk
mewakili jurusannya melalui utusan fraksi di lemleg fakultas, sehingga di tahun
mendatang ia mampu mewakili daerahnya pada lemleg tingkat universitas
2. Mengadakan
lemleg pada setiap jurusan dan meniadakan lemleg tingkat fakultas (seiringan
dengan rencana lembaga eksekutif untuk menghapus bem tingkat fakultas)
Pada akhirnya ini semua
dikembalikan kepada kedua belah lembaga, yakni eksekutif dan legislatif untuk
mencari formula terbaik guna menyiasati masa akademik yang hanya lima tahun. Memperhatikan
akademik tanpa menyingkirkan dunia non-akademik (read: organisasi). Saya pikir ini harus lah menjadi perbincangan
dan diskusi yang hangat antara badan eksekutif dan badan legislatif, sebab ini
menjadi keperluan bersama, masa depan bersama, keluarga Organisasi Pemerintahan
Mahasiswa.
milka..bahasannya berat :( #MahasiswaGagal jadi #GagalPaham
ReplyDelete