Disini negri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur tuan
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur tuan
Dinegeri permai ini
Berjuta Rakyat bersimbah ruah
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Berjuta Rakyat bersimbah ruah
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat
Mereka dirampas haknya
tuk membebaskan rakyat
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
padamu kami berjanji
padamu kami berjanji
(Darah Juang)
Aksi sosial "Cinta Jakarta Untuk Cibuyutan", kegiatan yang baru saja selesai saya kerjakan selama kurang lebih tiga hari, dua malam ini. Tepatnya tanggal 28 - 30 juni 2013 di kampung Cibuyutan, desa Sukarasa, kecamatan Tanjung Sari, kabupaten Bogor. AKSI SOSIAL bersama BEM UNJ dan Green Force UNJ (Tim aksi), juga dengan kakak-kakak dari Kampung Sarjana.
Dua tahun yang lalu (2011) UNJ juga sempat berkunjung ke kampung Cibuyutan dalam rangka pemasangan paralon air demi mempermudah akses air di sana, dan dengan sangat menyesal saat itu saya tidak berkesempatan ikut berkunjung ke kampung Cibuyutan. Alhamdulillah tahun ini Allah mudahkan ruh, jasad, dan waktu untuk berkorban ke sana.
Hasil yang ingin dicapai tahun ini adalah pembangunan perpustakaan sekolah dan sosialisasi penyuluhan akan kesadaran untuk megenyam pendidikan demi perbaikan generasi dan lingkungan Cibuyutan. Mengapa perlu diadakan sosialisasi? Karena umumnya anak-anak di kampung Cibuyutan diminta ikut membantu bekerja ke sawah atau ke gunung oleh orang tuanya, sehingga hanya sedikit sekali anak-anak MI (Madrasah Ibtidaiyyah) yang melanjutkan pendidikan SMP bahkan SMA nya, langka.
Hasil yang ingin dicapai tahun ini adalah pembangunan perpustakaan sekolah dan sosialisasi penyuluhan akan kesadaran untuk megenyam pendidikan demi perbaikan generasi dan lingkungan Cibuyutan. Mengapa perlu diadakan sosialisasi? Karena umumnya anak-anak di kampung Cibuyutan diminta ikut membantu bekerja ke sawah atau ke gunung oleh orang tuanya, sehingga hanya sedikit sekali anak-anak MI (Madrasah Ibtidaiyyah) yang melanjutkan pendidikan SMP bahkan SMA nya, langka.
Alhamdulillah letih perjalanan ini lenyap seketika, terbayarkan dengan sambutan hangat mereka yang dari jauh semangat berlarian menuju kami. Senyum dan salam para siswa-siswi Madrasah Ibtidaiyyah Miftahussholah kampung Cibuyutan. "Assalaamu'alaikum..." ucap kami bersamaan.
Duduk mengistirahatkan raga sejenak di depan satu-satunya Madrasah Ibtidaiyyah di sana. Sesekali memejamkan mata sembari meluruskan kaki dan menikmati udara sejuk milik kampung Cibuyutan. Matahari terik sekali, namun angin sepoi-sepoi menghampiri wajah secara bergantian.
Kemudian mengisi waktu dengan mereka, melupakan letih sambil berkenalan dan bermain bersama mereka dan mahasiswi yang lain. Deg deg ser, berharap perkenalan kami tidak terkendala Bahasa. Meski saya sudah mengenyam pelajaran basa sunda selama 12 tahun, tapi tetap saja tidak pernah bisa jago.
Mereka sopan-sopan sekali. Sangat sopan dan bersemangat. Pendidikan moral yang tak banyak ditemukan di kota besar ini, bergaul dengan mereka sungguh menyenangkan hati. Tutur katanya yang baik dan halus sungguh membuat saya betah untuk terus bermain bersama mereka.
Di sana mereka sangat bersemangat menyambut seruan kami, saat berkenalan, bermain, mengambar, bercerita, rasanya segala hal yang kami tawarkan terlihat menarik. Mereka benar-benar belum terkontaminasi teknologi yang hari ini banyak menyita anak-anak di ibu kota.
Kemudian banyak berbagi cerita dengan mereka, ingin lanjut di SMP apa... ingin menjadi apa jika sudah besar nanti... Ada yang mampu menjawab, ada juga yang tidak. Sayangnya ketika ditanya ingin lanjut ke SMP apa masih banyak dari mereka yang kebingungan dalam menjawab. Ya benar saja memang banyak kendala untuk melanjutkan SMP, selain orang tua yang tidak mengizinkan, faktor lain adalah jauhnya akses SMP di Cibuyutan. Salah satu orang tua pun bercerita, untuk memberangkatkan anaknya ke Pesantren saja membutuhkan ongkos 50.000 dengan menggunakan ojek. Saya juga menangkap kekhawatiran para orang tua lewat statement ini, "Anak saya ulah (jangan) sakola lama-lama, nanti teu betah di rumah.." Mereka khawatir tidak ada yang membantu mereka lagi ketika bekerja.
Sampailah giliran kakak-kakak menyampaikan impian pendidikan dan cita-cita. Kini giliran saya menceritakan tentang kelanjutan pendidikan saya, "Kakak ingin sekali melanjutkan kuliah di luar negeri, di Sorbonne, Prancis." That's all. Entah mereka mengerti atau tidak, namun serentak mereka meng-aamiin-kan bersama-sama impian saya tadi. AAMIIN... jawab budak-budak leutik itu. Bahagianya.
Dan terkait cita-cita mereka jika sudah besar nanti, jawaban mereka beragam. Ada banyak yang masih bingung menjawab, namun tak sedikit pula yang mantap memilih. Voila!
Halo kakak.. Perkenalkan, aku Yanto dan aku ingin menjadi Pilot.
Halo kakak.. Perkenalkan juga, namaku Rahman dan aku ingin menjadi guru. Guru fiqh.
Halo kakak.. Namaku Hendrik dan aku ingin menjadi Pilot. Agar kelak ketika kakak ingin berkunjung ke kampung Cibuyutan lagi, aku yang akan jemput dengan helikopter.
#ngarep
Kenalkeun kakak.. Aku Onim, kelas hiji. Kalau sudah besar nanti aku ingin jadi Dokter.
Kakak.. sekarang giliranku. Namaku Rohim, sesudah lulus dari MI Miftahussholah aku ingin lanjut di pesantren seperti Inam. Dan jika sudah besar nanti aku ingin menjadi Ustadz di kampungku.
Subhanallah. Mereka-mereka ini selain sangat sopan, semangatnya tinggi sekali teman-teman. Jadi refleksi diri. Malu jika selama ini malas-malasan kuliah, malas belajar. Sedang mereka yang fasilitasnya sedikit semangatnya luar biasa.
Ingin sedikit bercerita, saya kagum sekali dengan siswa yang bernama Rohim. aura shalih dan kepemimpinannya terasa sekali. Ketika saya dan nisa ingin ke rumah pak Mista (pendiri MI Miftahussholah) untuk meminta kunci sekolah, saya kebingungan arah jalannya, saya dan nisa mencoba meminta bantuan tapi belum ada yang merespon. Tak lama Rohim datang seraya memakai sandalnya dan berkata, "Hayu ka, saya yang antar." sungguh akhlak seorang bocah SD yang menjadi teladan. Kemudian dia mengajak teman-temannya. Mereka menuntun dan berjalan di depan kami.
Saya belajar banyak dari anak itu.
Perhatikan pria berpeci di tengah itu. Rohim. Dia mengajak teman-temannya berangkulan.
Rasanya ingin saya peluk dan bawa pulang anak itu. Keren sekali.
Terkait rumah tinggal kami 'homestay', mahasiswa-mahasiswi UNJ dibagi menjadi 7 kelompok. Kami tinggal di rumah-rumah yang ditinggali oleh warga yang memiliki anak SMP. Dengan tujuan berbagi cerita, motivasi dan inspirasi. Mereka adalah Angga, Inam, Ridho, Anis, Susi, Harun, dan Mislam.
Dan perkenalan kami dibantu oleh Pak Mista (tokoh pendidikan di kampung Cibuyutan), karena kendala bahasa sunda yang kami miliki.
Kawan-kawan (Rita Biologi, Achy Fisika, Dhila bahasa Indonesia) dan saya tinggal di rumah bapak Amin, ia memiliki anak SMP nya bernama Harun. Pak Mista sedikit bercerita bahwa istri dari bapak Amin telah meninggal dunia sekitar 16 bulan yang lalu, insyaAllah dalam keadaan syahid ketika melahirkan anak keempatnya. Karena akses rumah sakit yang sangat jauh dan jalanan yang penuh bebatuan, tanjakan, dan turunan, sang ibu merasa tidak kuat lagi, hingga almarhumah meninggal setelah melahirkan sebelum sempat sampai ke rumah sakit. Takdir Allah yang seharusnya bisa kita ikhtiarkan, khususnya pemerintah. Inilah potret nyata yang mengiris hati.
Jika kita menggunakan empati, sungguh beban hidup keluarga ini dirasa berat. Harun adalah anak kedua dari empat bersaudara, dan dialah anak lelaki satu-satunya. Ketika kami bercerita tentang cita-cita, yang dijawabnya adalah "nyari duit". Beban pikirannya lebih berat dibanding anak-anak lain, teteh Amih (anak pertama) sudah menikah dan tinggal di daerah atas kini tidak lagi menjaga rumah, Yanah (anak ketiga) semenjak lulus MI tidak ingin lagi melanjutkan SMP, kini usianya 16 tahun dan biasanya anak perempuan di sana akan menikah pada usia 18 tahun jadi ia sedang dalam masa menunggu. Terakhir Atin (anak keempat), usianya baru 16 bulan, bayi riang yang belum sempat bertemu dengan ibunya setelah lahir ke dunia. Ia di urus oleh teh Amih dan Yanah secara bergantian, karena teh Amih pun sudah memiliki anak lelaki sekitar usia 5 tahun, namanya Aman. Dan Harunlah harapan satu-satu dari bapak Amin, ia harus mengenyam pendidikan yang tinggi agar masa depannya lebih terjamin, juga demi perubahan kampung Cibuyutan yang lebih baik dan layak. Kalau bukan mereka generasi penerus, lalu siapa lagi.
Kini bapak Amin berprofesi sebagai pencari emas di gunung Cariuk, lokasinya jauh sekali dari rumah sehingga ketika bekerja bisa sambil bermalam di sana. Ketika untuk pertama kalinya saya bertemu beliau raut yang saya lihat adalah keletihan, ia sedikit gemetar, entah sudah makan atau belum. Katanya beliau pulang dari gunung pukul 03.00 dini hari dan baru sampai rumah pukul 06.30 pagi dengan berjalan kaki. Untuk kesekian kalinya hati ini tersentuh dan belajar untuk lebih bersyukur dengan hidup yang dimiliki. Allah.. saya malu dengan diri saya yang tidak banyak berpeluh namun banyak mengeluh.
Pak Amin bermain dengan anaknya yang berusia 16 bulan, Atin.
Ukiran ini ada di kursi kayu rumah yang saya tinggali. Seperti ukiran milik Harun atau Yanah.
Kampung Cibuyutan, yang aktivitas malam harinya terbatasi. Tiada listrik untuk lampu, untuk menonton tv, berselancar di dunia maya, hingga akses komunikasi via telefon genggam pun tidak mungkin, selain masalah energi, juga masalah sinyal. Kampung Cibuyutan yang gelap gulita ketika malam tiba, yang cahaya lampu hanya bisa dilihat jauh di kota sana, bukan di kampung ini. Kampung Cibuyutan yang jalanannya masih alami sekali, tanpa campur aduk aspal yang sungguh memanjakan. Kampung Cibuyutan, tiada keran yang mudah ditemukan di dalam rumah, mau tidak mau harus mengangkut air demi kebutuhan di rumah, mandi harus ke empang-empang atau bahkan di kamar mandi sekolah yang PR sekali akses menuju ke sana. Kampung Cibuyutan yang sulit mendapatkan bawang sehingga ketika mendapatinya harus merogoh kocek lebih, yang ketika memasak dengan tungku bahan bakarnya solar, di sana harganya sebesar 8.000 rupiah perliter. Mahal.
Di mana ya posisi Wakil Rakyat hari ini. Apakah sudah pernah mencoba homestay di sini, menjaring suara atau aspirasi rakyat di sini, bergaul langsung dengan warga di kampung ini, kemudian berempati. Sudah belum ya. No comment.
Maka pada siapa lagi kita mampu bersandar jika para pemimpin sudah tahu namun terlalai? Yakinlah hanya Allah sebaik-baik dzat untuk bersandar. Yakin bahwa ALLAH lebih mampu berlaku Adil dan menjawab segala kesulitan dan do'a-do'a masyarakat kampung Cibuyutan. Dibalik kegelapan yang ada, tetap saja cahayaNya tak akan pernah mati di kampung ini, cahaya bulanNya, bintang-bintangNya, mampu terlihat dengan jelas. Dibalik sulitnya akses ke rumah sakit, Allah hadiahkan syahid untuk almarhumah ibunda Harun. Dibalik buruk rupanya jalanan yang ada, semangat kaki mereka saat berjalan menuju masjid, menuju sekolah, sungguh saya yakin Allah berkahi lebih.
Sungguh kampung itu penuh inspirasi, penuh aura kebersyukuran. Semangat tidak mengeluh walau hidup berpeluh. Mari tetap semangat bangun bangsa Indonesia, sekecil apapun hal yang kita bangun.
Allahu AKBAR.
Hidup MAHASISWA.
marilah kawan, mari kita kabarkan
di tangan kita tergenggam arah
bangsa
marilah kawan, mari kita nyanyikan
sebuah lagu tentang pembebesan
di bawah kuasa tirani
kususuri garis jalan ini
berjuta kali turun aksi
bagiku satu langkah pasti
(Buruh Tani)
kampung Cibuyutan, i'm in love.
Jakarta, 01 Juli 2013