Bismillahirrahmaanirrahiim.
Bagiku, lelah kemarin adalah bagian dari
nikmatnya berbagi. Tak pernah berhenti untuk bersyukur, sekali lagi
berkesempatan mengikuti kegiatan sosial di kampung Cibuyutan dalam Pelatihan
Kepemimpinan Mahasiswa Universitas (PKMU) dari BEM UNJ kemarin (11-13 oktober
2013). Kami membawa beberapa program perbaikan, mulai dari kebiasaan menjaga
kebersihan, pendidikan, sampai infrastruktur (MCK). Alur perjalanannya sama seperti
tiga bulan yang lalu, hari jumat malam menginap di salah satu TPA dekat
pemukiman warga daerah jonggol. Keesokan paginya baru kami berangkat menuju
kampung Cibuyutan dengan berjalan kaki, that’s
the point :)
Jika
tiga bulan yang lalu tanah dapat dipijak dengan baik. Berbeda dengan kali ini, hujan
yang membasahi tanah cukup menyulitkan langkah kaki untuk menapaki bebatuan
yang licin ditambah tanah yang lengket. Bahkan ada warga yang jatuh ketika
mengendarai motornya karena jalan begitu licin, beruntung ia tidak apa-apa. Yang
menyenangkan adalah peserta yang jumlahnya lebih dari 50 orang ikut meramaikan
euforia perjalanan ini. Alhamdulillah.
Pepohonan,
sungai bebatuan, sawah, gunung, semua tersaji sangat sepadan. Pemandangannya tidak
berubah, masih tetap indah. Seperti biasa perjalanannya memakan durasi lebih
kurang dua jam. Rutenya lurus-lurus saja, tapi tanjakan dan turunannya sangat
menguji keteguhan langkah ini. Sejujurnya yang paling mendebarkan hati adalah
detik-detik ketika akan sampai ke sekolah, yang aku ingat, tiga bulan lalu aku
berdo’a memohon padaNya untuk diberi kesempatan kembali lagi ke desa bintang
itu. Maka detik-detik menjelang sampai ke sekolah begitu membuatku tidak sabar,
selangkah, dua langkah, masih belum terlihat. Namun aku yakin jarak sekolahnya
sudah dekat. Melanjutkan, tiga langkah, empat langkah, semakin cepat, dan
kemudian berlari kecil, dan.... itu dia! Itu dia sekolahnya! Satu-satunya
madrasah ibtidaiyyah yang ada di sana, madrasah yang diwarnai oleh bocah-bocah
kecil nan santun. Ada yang berbeda di sana, ada bangunan baru. Seperti alat
pembangkit listrik dari tenaga surya.
Sesampainya
di sekolah, para siswa-siswi madrasah ibtidaiyyah sudah duduk rapi di dalam
kelas, sedang bermain dengan kakak-kakak mahasiswa yang sudah sampai lebih awal,
tak sabar aku ingin cepat bergabung di dalamnya. Melihat wajah-wajah kecil yang
dulu sempat kulihat, Rohim, Onim, Reza,
dan juga yang lainnya. Lebih dari itu, ternyata ada juga wajah-wajah baru,
siswa-siswi kelas satu.
Selepas itu peserta kembali berkumpul dengan
kelompok, rasanya beruntung bisa tergabung dalam kelompok 1, kelompok yang kami
beri nama kaffah, menyeluruh. Agar
kerja kami, dan kekeluargaan kami tidak setengah-setengah, lebih kurang
begitulah harapannya :D Padahal sebenarnya ini hasil dari celetukan seseorang
(lupa siapa penggagasnya hehe), karena terasanya keren jadi kami patenkan saja.
Kelompok 1
menetap di rumah sebuah keluarga yang dekat dengan rumah pak RT, rumah yang
kutinggali kali ini lebih baik dari rumah kemarin. Walau rumah ini sedikit
lebih nyaman, namun kompornya masih tradisional, dengan kayu bakar. Dan inilah monolog
sang ibu saat memasak nasi,“memasak di
kampung itu rasanya bangga”, kata sang ibu, “karena tidak semudah di kota yang sudah ada listrik, tinggal colok
saja, namun di sini perlu diaroni berulang-ulang”. Lebih kurang begitu
bahasa Indonesianya, sang ibu ternyata cukup fasih berbahasa Indonesia. Kami
banyak berbincang dengan sang ibu, pun aku penasaran dengan alat yang baru
dibangun dekat sekolah maka kutanyakan pada sang ibu darimana alat itu bisa
dibangun, “ti Bandung, katanya nanti akan
masuk listrik di sini.. tiga bulan lagi, tapi ibu kurang tau dari siapa”
jawab sang Ibu, serentak kami mengucap Alhamdulilah...
Sejujurnya aku masih ingin tau dari
siapa inisiatif alat tersebut muncul, berharap bantuan ini benar datang
langsung dari pemerintah, karena memang sepantasnya begitu. Hari itu, disaat para
lelaki sibuk bekerja membersihkan dan memperbaiki kerusakan yang ada di MCK
umum di sana, para wanita mengimbangi dengan sibuk memasak.
Sore harinya rumah kami kedatangan tamu-tamu kecil,
ada Rafa, Refan, dan Fajar. Dari yang usianya 2,5 tahun
sampai 4 tahun, mereka masih balita,
meuni kasep pisun.... Untung sudah disiapkan satu kotak crayon berisi 12 batang, dan kami
mewarnai bersama sambil mencoba berbincang sedikit dengan bahasa sunda, dibantu
Fadlah dari Fip. Kembali mengingat pelajaran bahasa sundaku yang dulu. Walau
perbincangan tak bertahan lama karena mereka kembali bermain dengan
kumbang-kumbang yang disebut lege’, namun
setelah bermain mereka sesekali kembali mengunjungi kami. Tak terasa cahaya
matahari tak lagi terasa, menjelang maghrib kami masih bersama bocah-bocah
kecil itu, ketika para orang tua menjemput untuk pulang ke rumah, salah seorang
dari mereka berkata, “embung ah, urang
mah rék nginep sareng tétéh” ucap Refan.
Kami hanya tertawa mendengar ucapan lugunya, ia ingin menginap saja bersama
kakak-kakak dari Unj.
Malam hari tiba, selepas maghrib aktifitas di rumah
ini masih berjalan dengan bantuan cahaya senter. Aktifitas yang biasa kita
lihat di televisi, mereka mengonsumsi larva dari sarang tiwan (tawon), yang
bentuknya persis seperti ulat sagu namun ukurannya lebih kecil. Setelah sarang
tawon atau tiwan diasapi agar tawonnya mati dan tidak menyengat, mereka mengambili larva-larva yang ada
di dalam sarang tersebut. Beberapa dari kami ikut membantu, namun tidak
denganku. Rasanya belum shanggup aku memegangnya..
Yang paling semangat adalah para balitanya,
Rafa dan Fajar. Wajahnya serius
dan teliti sekali mengambil larva dalam sarang, murni tanpa ada sedikitpun rasa
jijik. Mantap!
Ba’da
isya kami yang wanita sudah terlelap, malam terasa begitu panjang. Hingga kerap
kali kami tebangun. Rasa-rasanya sudah shubuh, namun begitu melihat jam, masih
pukul 01.00 dini hari. Dan seterusnya, setiap beberapa jam sekali aku
terbangun, rasanya tidurku sudah cukup.
Hari terakhir di kampung Cibuyutan, sang ibu
mengajak kami menginap semalam lagi di rumahnya :’) rasanya tidak ingin dilepas
lagi momen berharga ini. Pagi hari sarapan kami ditemani oleh gorengan tahu dan
tape, nikmatnya. Aktifitas perbaikan MCK masih berlanjut, yang hanya dilakukan
oleh laki-laki, dan sebagian perempuan tetap tinggal di dapur. Sedang sebagian
dari kami membuat papan peringatan untuk MCK umum di sana, seperti “Lepas Sendal Sebelum Masuk” dan “Jangan Buang Sampah Sembarangan”.
Terakhir
setelah semua program terlaksana (alhamdulillah), datanglah saat untuk melakukan penutupan
acara. Para peserta kembali berkumpul pukul 14.00 di lapangan sekolah. Namun
ada satu hal yang masih menyangkut dipikiranku. Alat besar itu, alat pembangkit
listrik tenaga surya yang ada di belakang sekolah itu. Kulihat pak Mista sedang berbincang dengan beberapa
mahasiswa, kudatangi mereka dan ikut menyimak pembicaraannya. Kuminta bantuan
salah seorang dari mereka, Irene namanya,
kupinta bantuannya untuk menerjemahkan pertanyaanku tentang sumber alat tenaga
surya itu. Setelah pertanyaan dilontarkan, jawaban pak Mista sungguh memuaskan rasa penasaranku, “éta téh ti pemeréntah, ti gubernur Jawa Barat”, reflek senyumku
mulai mengembang. Pak Mista kembali
melanjutkan, “alatna didatangkeun ti
Bandung, insyaAllah tilu bulan deui bérés...”
“ti
bapak Ahmad heriawan pak?” pertanyaan retoris reflek
terlontar saking bahagianya, ternyata benar inisiatif ini datang dari
pemerintah. “iya, ti pak Aher..” jawab
pak Mista. Alhamdulillah...
Kini, penerangan di kampung Cibuyutan bukan lagi
hanya mimpi, tapi akan menjadi tagline seperti yang
ada di bioskop-bioskop. Coming Soon.
Tatap tegaklah masa depan
Tersenyumlah tuk kehidupan
Dengan cinta dan sejuta asa
Bersama membangun Indonesia
Bangkitlah negeriku harapan itu masih ada
Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang
(ShouHar - Bangkitlah Negeriku)
Cibinong, 15 oktober 2013