Bismillahirrahmaanirrahiim.
Secara umum, menyebut asma Allah dan berdzikir kepada-Nya ialah kebaikan tertuntunkan. Menyertakan Allah dalam tiap kejadian adalah niscaya. Dan tiap penyebutan nama Allah yang bermakna khusus tentu memiliki tempat sesuai tuntunan. Semisal; Istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun) diucap saat kita mengetahui ada saudara kita yang meninggal atau saat kita bermusibah. (semisal banjir, kebakaran, tanah longsor, kecelakaan, dll). Nah, bagaimana dengan ucapan “Subhanallah” dan “Maasya Allah”?
Ada 2 yang mengikatnya; tuntunan Qur’an-Sunnah dan kebiasaan dalam Bahasa Arab.
Al-Qur’an menuturkan; Subhanallah
digunakan dalam mensucikan Allah dari hal yang tak pantas. “Maha Suci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan, dll.” Ayat- ayat berkomposisi ini sangatlah banyak. Juga, Subhanallah digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik.
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau (Subhanaka).
Engkaulah pelindung kami, bukan mereka:
bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (QS 34 : 40-41), dihinakannya Allah tersebab kita: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah (Subhanallah), dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”(QS 12 : 108) dll.
Bukankah ada juga pe-Maha Suci-an Allah dalam hal menakjubkan? Uniknya, Al-Qur’an menuturnya dengan kata ganti kedua:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keaadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
“Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau (subhanaka), maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS 3: 191).
Atau kata ganti ketiga yang tak langsung menyebut asma Allah: “Maha Suci (Allah) (subhana), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 17 : 1, dll).
Sedangkan ia juga terpakai pada; me-Maha Suci-kan Allah dalam menyaksikan bencana dan mengakui kezhaliman diri: “Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami (subhana), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” (QS 68 : 29), menolak fitnah keji yang menimpa saudara:
“mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS 24 : 16).
Bagaimana Hadits-nya?
“Kami apabila berjalan naik membaca takbir, dan apabila berjalan turun membaca tasbih.”
(HR. Imam Bukhari, dari Jabir ra.).
Jadi “Subhanallah” dilekatkan dalam makna “turun”, yang kemudian sesuai dengan kebiasaan orang dalam Bahasa Arab secara umum; yakni menggunakannya untuk mengungkapkan keprihatinan atas suatu hal kurang baik di mana tak pantas Allah Subhanahu wa ta’ala dilekatkan padanya.
Bagaiamana simpulannya?
Dzikir tasbih secara umum adalah utama, sebab ia dzikir semua makhluq dan tertempat di waktu utama pagi dan petang. Adapun dalam ucapan sehari-hari, mari membiasakan ia sebagai pe-Maha Suci-an Allah atas hal yang memang tak pantas bagi keagungan-Nya.
Bagaimana dengan “Maasya Allah”?
QS. 18 : 39 memberi contoh: “Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Maasya Allah, laa quwwata illaa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,” ia diucapkan atas kekaguman pada aneka kebaikan melimpah; kebun, anak, harta. Sungguh ini semua terjadi atas kehendak Allah; kebun subur menghijau jelang panen; anak-anak yang ceria menggemaskan, harta yang banyak.
Lengkapnya; “Maasya Allah la quwwata illa billah”, kalimat ke-2 menegaskan lagi; tiada kemampuan mewujudkan selain atas pertolongan Allah.
Pun demikian dalam kebiasaan lisan
berbahasa Arab; mereka mengucapkan “Masya Allah” pada keadaan juga sosok yang kebaikannya mengagumkan.
Simpulannya; “Maasya Allah” adalah ungkapan ketakjuban pada hal-hal yang indah; dan memang hal indah itu dicinta dan dikehendaki oleh Allah.
Demi ketepatan makna keagungan-Nya dan menghindari kesalahfahaman; mari biasakan mengucap “Subhanallah” dan “Maasya Allah” seperti seharusnya. Membiasakan bertutur sesuai makna pada bahasa asli Insya Allah lebih tepat bermakna.
Tercontoh; orang Indonesia bisa senyum gembira padahal sedang dimaki. Misalnya dengan kalimat; “Allahu yahdik!”. Arti harfiahnya; “Semoga Allah memberi hidayah padamu!” Bagus bukan? Tetapi untuk diketahui; makna kiasan dari “Allahu yahdik!” adalah “Dasar gebleg!”
Jadi, mari belajar tanpa henti dan tak usah memaki.
(dirangkum dari kultwit pada linimasa Salim A. Fillah rahimakallah).