Bismillah
01 Syawal 1435H, pukul 01.30 dini
hari.
Alhamdulillaah.. baru saja kami lewati percakapan
seru dengan seorang lelaki kesayangan kami. Ba’da membersihkan dan merelaksasi
diri dengan air hangat kami berkumpul di ruang tv, sambil menikmati susu hangat
kami melakukan perbincangan sederhana dengan topik yang tidak pernah kami sentuh secara
bersama-sama sebelumnya. Kami
bercerita tentang Keimanan.
Ia
memulai diskusi dengan mengatakan bahwa Keimanan begitu luas bentuknya, begitu
banyak cara mengekspresikannya, salah satunya ya lewat shalat lima waktu. Namun
permasalahannya ia tak pernah sepakat dengan perilaku orang-orang yang meminta
orang lain untuk beribadah seperti apa yang kita lakukan, baginya ibadah itu
tentang Keimanan masing-masing, kesadaran pribadi.
Berulang
kali kami menekankan bahwa meminta orang lain untuk ikut beribadah karena kami
cinta. ("Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Tahrim 66:6)) Sekali lagi tidak, ia langsung tidak sepakat ketika
kami tergesa membicarakan akhirat, sebab baginya perihal hari akhir adalah
sesuatu yang belum terjadi dan belum terlihat.
Kemudian
ia kembali bercerita lagi dengan begitu tenang. Sejujurnya, meski lelah saya merasa
menikmati diskusi kami malam ini. Ia bercerita tentang perjalanannya menyembah
Allah. Bagaimana ia menjemput hidayah-Nya melalui tadabbur kitab suci al-Qur’an,
bagaimana al-Qur’an menyentuh nuraninya, bagaimana al-Qur’an mengajak hatinya
untuk bergegas menghadap-Nya. Menarik.
And this is how the story begin..
Disuatu pagi yang cerah
Hari itu, kala
iman sedang kacau, ia memilih untuk duduk-duduk sendiri di kursi rumah,
memikirkan segala problema hidup yang dimilikinya. Di sebelahnya ada dua buah kitab tertumpuk rapi yang terletak di antara kedua
kursi rumah kami. Tiba-tiba saat itu juga ia tertarik untuk membaca kitab yang sudah tidak asing lagi bagi hidupnya, ya, kitab Injil. Ia membaca dengan saksama, beberapa lembar saja dalam
kitab itu. Selesai dan ia masih belum puas. Ditutupnya kitab tersebut, kemudian ia beralih ke kitab yang satunya. Kitab paling sempurna yang pernah ada dimuka
bumi, kitab suci al-Qur’an. Ia membaca dengan cermat dan penuh khidmat. Satu
lembar.. dua lembar.. hingga tak sadar sudah lebih dari sepuluh lembar. Semakin
lama semakin menarik! Semakin nyata! Semakin menggugah, semakin meneriakkan
nuraninya, menampar keimanannya, menggoncang pikirannya yang kacau.
Sampai-sampai ia tak sanggup lagi, hingga dengan reflek ia menutup kitab suci
tersebut, kemudian beranjak dari kursinya dan pergi ke teras rumah. Berdiri,
termenung sendiri. “Allaahu Akbaar... Allaahu
Akbaar...”, pelan-pelan lafadz takbir terucap dari bibirnya. Tumpahlah air matanya
kala itu. Ia menambahkan, “tahu bagaimana
perasaan kala itu?”,
kami merespon dengan gelengan dan seakan tak sabar meminta ia kembali
melanjutkan ceritanya. “Rasanya dada
seperti terhimpit sesuatu, ada hal yang begitu ingin meluap! dalam hati saat
itu, yang tiba-tiba naik ke kepala dan mencerahkan otak yang sangat kacau hari
itu”, lanjutnya sambil bergetar haru. Oh, Allah.. ternyata hidayah-Mu begitu dekat, ternyata lelaki
kesayangan kami menjemput hidayah-Mu dengan begitu nikmat.
ونزلنا عليك
الكتاب تبياناً لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين : النحل/89
“Dan Kami turunkan
kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
(QS.
An-Nahl: 89)
Kemudian
ia juga menambahkan bagaimana kisahnya selanjutnya, sesaat setelah kejadian
mengharukan tadi. Ketika hati yang begitu sesak menuntut pembebasan
qalbu menuju fitrahnya, ia menjabarkan secara rinci tentang bagaimana ia mengambil
buku tuntunan sholat yang ada di atas lemari tua kami, bagaimana ia berwudhu
sambil membaca tata cara wudhu yang diletakkan di hadapannya, hingga kemudian
ia sholat sambil membaca do’a-do’a yang harus dibacanya sembari memegang buku
ketika sholat. Tambahnya lagi, entah benar atau tidak yang ia kerjakan ia merasa
tak peduli hari itu. Sungguh, yang ia ingat hanyalah keinginan yang sangat
untuk menghadap Allah dalam keadaan suci, mengontrol ruh yang menggebu untuk
berkomunikasi dengan-Nya. Itulah sederas-deras air mata yang ia punya dalam
hidupnya, ya, ketika menghadap Tuhannya, Allah swt. Maasyaa Allah..
Baru
kami sadari begitu selama ini ia begitu berjuang dalam belajar menyembah-Nya, ber-Islam setelah hidup dalam keadaan nasrani. Ia begitu kesulitan, dikala sendirian,
dikala wanita yang dicintainya sedang bekerja mencari keberkahan untuk sesuap
nasi kami, dikala kakak dan dan saya masih begitu kecil. Ia berjuang sendiri
mengajak ruh dan jasadnya untuk belajar beribadah padaNya. Allah..
Ia
mengaku bukan seseorang yang mendapat hidayah dari saudara, kawan, ustadz, atau
siapapun. Melainkan tertarbiyyah langsung oleh Al-qur’an. Saya merasa betapa
Al-qur’an memiliki pegaruh yang begitu kuat dalam hidupnya. Meski ia mengaku
tidak mampu mempelajari huruf hijaiyyah, namun ia mengaku telah berkali-kali selesai
membaca terjemahannya. Baginya sama saja, bahkan jauh lebih bermakna bagi
keimanannya. Hingga ia mempertanyakan orang-orang yang selama ini mendewakan
kuantitas dibanding kualitas ibadah. Bahasa lainnya, ia mempertanyakan
orang-orang yang selama ini menomorsatukan jumlah dibanding efek ibadah dalam
keimanan mereka.
Pada
akhirnya kami menutup diskusi malam itu dengan membahas keseimbangan ibadah,
tawazun. Memperbanyak ibadah serta menaikkan kualitas makna ibadah yang kami
jalani. Itulah yang kami sepakati. Alhamdulillaah..Saya
sangat mengapresiasi sebuah proses, semoga Allah senantiasa menetapkan hidayah-Nya
pada lelaki kesayangan kami. Aamiin.
Ditambahkan pula olehnya tentang sebuah hal
yang cukup urgen dalam memaknai proses keimanan, termasuk dalam mengimani
kitab-Nya. Menghargai setiap kitab yang turun dibumi cinta-Nya, termasuk kitab
injil. Sebuah kitab yang dipelajarinya jauh sebelum ia ber-Islam, sebuah kitab
di mana nama Milka berada didalamnya. Bagi ia, adalah sebuah hal yang penting
bagi umat manusia untuk melihat proses, atau tahap penyempurnaan kitab-Nya serta
menyadari keselarasan antara kitab-kitabNya, hingga kita mampu memaknai lebih
jauh, bahwa pada hakikat-Nya, dalam kitab apapun hanya ada satu Tuhan yang
disebut, yang hanya pada-Nya lah setiap insan menyembah. Allah..
Itulah diskusi panjang bersama ayah
hari ini. Kami berhenti disaat jarum jam mulai menunjukkan pukul 04.00 pagi, sungguh
lelahnya hari yang panjang tahun ini, hari nan fitri yang begitu dinanti.
Semoga kita semua dapat mengambil ibrah dari tulisan ini..
02 syawal 1435H, pukul 13.30 WIB
Milka
Anggun