Powered By Blogger

Tuesday, October 15, 2013

kampung Cibuyutan, i'm in love (part II)



Bismillahirrahmaanirrahiim.

            Bagiku, lelah kemarin adalah bagian dari nikmatnya berbagi. Tak pernah berhenti untuk bersyukur, sekali lagi berkesempatan mengikuti kegiatan sosial di kampung Cibuyutan dalam Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Universitas (PKMU) dari BEM UNJ kemarin (11-13 oktober 2013). Kami membawa beberapa program perbaikan, mulai dari kebiasaan menjaga kebersihan, pendidikan, sampai infrastruktur (MCK). Alur perjalanannya sama seperti tiga bulan yang lalu, hari jumat malam menginap di salah satu TPA dekat pemukiman warga daerah jonggol. Keesokan paginya baru kami berangkat menuju kampung Cibuyutan dengan berjalan kaki, that’s the point :)








            Jika tiga bulan yang lalu tanah dapat dipijak dengan baik. Berbeda dengan kali ini, hujan yang membasahi tanah cukup menyulitkan langkah kaki untuk menapaki bebatuan yang licin ditambah tanah yang lengket. Bahkan ada warga yang jatuh ketika mengendarai motornya karena jalan begitu licin, beruntung ia tidak apa-apa. Yang menyenangkan adalah peserta yang jumlahnya lebih dari 50 orang ikut meramaikan euforia perjalanan ini. Alhamdulillah.

            Pepohonan, sungai bebatuan, sawah, gunung, semua tersaji sangat sepadan. Pemandangannya tidak berubah, masih tetap indah. Seperti biasa perjalanannya memakan durasi lebih kurang dua jam. Rutenya lurus-lurus saja, tapi tanjakan dan turunannya sangat menguji keteguhan langkah ini. Sejujurnya yang paling mendebarkan hati adalah detik-detik ketika akan sampai ke sekolah, yang aku ingat, tiga bulan lalu aku berdo’a memohon padaNya untuk diberi kesempatan kembali lagi ke desa bintang itu. Maka detik-detik menjelang sampai ke sekolah begitu membuatku tidak sabar, selangkah, dua langkah, masih belum terlihat. Namun aku yakin jarak sekolahnya sudah dekat. Melanjutkan, tiga langkah, empat langkah, semakin cepat, dan kemudian berlari kecil, dan.... itu dia! Itu dia sekolahnya! Satu-satunya madrasah ibtidaiyyah yang ada di sana, madrasah yang diwarnai oleh bocah-bocah kecil nan santun. Ada yang berbeda di sana, ada bangunan baru. Seperti alat pembangkit listrik dari tenaga surya.





            Sesampainya di sekolah, para siswa-siswi madrasah ibtidaiyyah sudah duduk rapi di dalam kelas, sedang bermain dengan kakak-kakak mahasiswa yang sudah sampai lebih awal, tak sabar aku ingin cepat bergabung di dalamnya. Melihat wajah-wajah kecil yang dulu sempat kulihat, Rohim, Onim, Reza, dan juga yang lainnya. Lebih dari itu, ternyata ada juga wajah-wajah baru, siswa-siswi kelas satu.





Selepas itu peserta kembali berkumpul dengan kelompok, rasanya beruntung bisa tergabung dalam kelompok 1, kelompok yang kami beri nama kaffah, menyeluruh. Agar kerja kami, dan kekeluargaan kami tidak setengah-setengah, lebih kurang begitulah harapannya :D Padahal sebenarnya ini hasil dari celetukan seseorang (lupa siapa penggagasnya hehe), karena terasanya keren jadi kami patenkan saja.



 Kelompok 1 menetap di rumah sebuah keluarga yang dekat dengan rumah pak RT, rumah yang kutinggali kali ini lebih baik dari rumah kemarin. Walau rumah ini sedikit lebih nyaman, namun kompornya masih tradisional, dengan kayu bakar. Dan inilah monolog sang ibu saat memasak nasi,“memasak di kampung itu rasanya bangga”, kata sang ibu, “karena tidak semudah di kota yang sudah ada listrik, tinggal colok saja, namun di sini perlu diaroni berulang-ulang”. Lebih kurang begitu bahasa Indonesianya, sang ibu ternyata cukup fasih berbahasa Indonesia. Kami banyak berbincang dengan sang ibu, pun aku penasaran dengan alat yang baru dibangun dekat sekolah maka kutanyakan pada sang ibu darimana alat itu bisa dibangun, “ti Bandung, katanya nanti akan masuk listrik di sini.. tiga bulan lagi, tapi ibu kurang tau dari siapa” jawab sang Ibu, serentak kami mengucap Alhamdulilah...  Sejujurnya aku masih ingin tau dari siapa inisiatif alat tersebut muncul, berharap bantuan ini benar datang langsung dari pemerintah, karena memang sepantasnya begitu. Hari itu, disaat para lelaki sibuk bekerja membersihkan dan memperbaiki kerusakan yang ada di MCK umum di sana, para wanita mengimbangi dengan sibuk memasak.



Sore harinya rumah kami kedatangan tamu-tamu kecil, ada Rafa, Refan, dan Fajar. Dari yang usianya 2,5 tahun sampai 4 tahun, mereka masih balita, meuni kasep pisun.... Untung sudah disiapkan satu kotak crayon berisi 12 batang, dan kami mewarnai bersama sambil mencoba berbincang sedikit dengan bahasa sunda, dibantu Fadlah dari Fip. Kembali mengingat pelajaran bahasa sundaku yang dulu. Walau perbincangan tak bertahan lama karena mereka kembali bermain dengan kumbang-kumbang yang disebut lege’, namun setelah bermain mereka sesekali kembali mengunjungi kami. Tak terasa cahaya matahari tak lagi terasa, menjelang maghrib kami masih bersama bocah-bocah kecil itu, ketika para orang tua menjemput untuk pulang ke rumah, salah seorang dari mereka berkata, “embung ah, urang mah rék nginep sareng tétéh” ucap Refan. Kami hanya tertawa mendengar ucapan lugunya, ia ingin menginap saja bersama kakak-kakak dari Unj.




Malam hari tiba, selepas maghrib aktifitas di rumah ini masih berjalan dengan bantuan cahaya senter. Aktifitas yang biasa kita lihat di televisi, mereka mengonsumsi larva dari sarang tiwan (tawon), yang bentuknya persis seperti ulat sagu namun ukurannya lebih kecil. Setelah sarang tawon atau tiwan diasapi agar tawonnya mati dan tidak menyengat, mereka mengambili larva-larva yang ada di dalam sarang tersebut. Beberapa dari kami ikut membantu, namun tidak denganku. Rasanya belum shanggup aku memegangnya.. Yang paling semangat adalah para balitanya, Rafa dan Fajar. Wajahnya serius dan teliti sekali mengambil larva dalam sarang, murni tanpa ada sedikitpun rasa jijik. Mantap!

            Ba’da isya kami yang wanita sudah terlelap, malam terasa begitu panjang. Hingga kerap kali kami tebangun. Rasa-rasanya sudah shubuh, namun begitu melihat jam, masih pukul 01.00 dini hari. Dan seterusnya, setiap beberapa jam sekali aku terbangun, rasanya tidurku sudah cukup.

Hari terakhir di kampung Cibuyutan, sang ibu mengajak kami menginap semalam lagi di rumahnya :’) rasanya tidak ingin dilepas lagi momen berharga ini. Pagi hari sarapan kami ditemani oleh gorengan tahu dan tape, nikmatnya. Aktifitas perbaikan MCK masih berlanjut, yang hanya dilakukan oleh laki-laki, dan sebagian perempuan tetap tinggal di dapur. Sedang sebagian dari kami membuat papan peringatan untuk MCK umum di sana, seperti “Lepas Sendal Sebelum Masuk” dan “Jangan Buang Sampah Sembarangan”.





            Terakhir setelah semua program terlaksana (alhamdulillah),  datanglah saat untuk melakukan penutupan acara. Para peserta kembali berkumpul pukul 14.00 di lapangan sekolah. Namun ada satu hal yang masih menyangkut dipikiranku. Alat besar itu, alat pembangkit listrik tenaga surya yang ada di belakang sekolah itu. Kulihat pak Mista sedang berbincang dengan beberapa mahasiswa, kudatangi mereka dan ikut menyimak pembicaraannya. Kuminta bantuan salah seorang dari mereka, Irene namanya, kupinta bantuannya untuk menerjemahkan pertanyaanku tentang sumber alat tenaga surya itu. Setelah pertanyaan dilontarkan, jawaban pak Mista sungguh memuaskan rasa penasaranku, “éta téh ti pemeréntah, ti gubernur Jawa Barat”, reflek senyumku mulai mengembang. Pak Mista kembali melanjutkan, “alatna didatangkeun ti Bandung, insyaAllah tilu bulan deui bérés...”
“ti bapak Ahmad heriawan pak?” pertanyaan retoris reflek terlontar saking bahagianya, ternyata benar inisiatif ini datang dari pemerintah. “iya, ti pak Aher..” jawab pak Mista. Alhamdulillah... 




Kini, penerangan di kampung Cibuyutan bukan lagi hanya mimpi, tapi akan menjadi tagline seperti yang ada di bioskop-bioskop. Coming Soon.
 




Tatap tegaklah masa depan
Tersenyumlah tuk kehidupan
Dengan cinta dan sejuta asa
Bersama membangun Indonesia

Bangkitlah negeriku harapan itu masih ada
Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang

(ShouHar - Bangkitlah Negeriku)

 

Cibinong, 15 oktober 2013

1 comment: