Powered By Blogger

Thursday, June 19, 2014

Legislatif dan Kemarau Budaya


            Dalam teori John Locke (1632-1704) seorang filosof Inggris yang pada tahun 1690 yang menerbitkan buku “Two Treties on Civil Government”, ia mengemukakan adanya tiga macam kekuasaan di dalam Negara yang harus diserahkan kepada badan yang masing-masing berdiri sendiri. Salah satunya tentu kita mengenal kekuasaan legislatif.  Menurut definisi dari wikipedia, “Legislatif adalah badan deliberatif pemerintah dengan kuasa membuat hukum. Legislatif dikenal dengan beberapa nama, yaitu parlemen, kongres, dan asembli nasional. Dalam sistem Parlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan menunjuk eksekutif. Dalam sistem Presidentil, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas, dari eksekutif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa untuk menaikkan pajak dan menerapkan budget dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif juga kadangkala menulis perjanjian dan memutuskan perang”.[1]


                Dalam teori trias politica dan hubungannya dengan kehidupan politik kampus hari ini, rasanya masih ditemukan problema yang itu-itu saja, yakni tidak sinerginya hubungan kerja antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Sederhananya bisa dikatakan bahwa antara si pembuat kebijakan dan si pelaksana kebijakan tidak berjalan sambil bergandengan tangan. Padahal semestinya politik kampus sudah berdamai dengan problema semacam itu.

            Mengacu pada peraturan OPMAWA, yakni dalam pasal  20 ayat (2)C dan peraturan MPA Pasal 11 ayat (4) yang telah dibuat oleh badan legislasi Majelis Tinggi Mahasiswa (yang selanjutnya disebut dengan MTM), jika dilihat dari kaca mata lembaga eksekutif tentu peraturan-peraturan tersebut dirasa sangat 'kering', hingga menjadi hal yang didebatkan dalam pembahasan antara BEM dan MTM. Mengapa? Sebabnya hanya satu, yakni 'kering'nya toleransi lembaga legislatif terhadap kultur daerah masing-masing lembaga eksekutif. Anggap saja peraturan yang kemarau akan kultur atau budaya.

            Mengacuhkan kultur atau budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah dalam membuat undang-undang adalah hal yang pasti menimbulkan polemik. Sebab kultur atau budaya adalah hal yang sudah menjadi bagian dari identitas tiap daerah. Perihal kebudayaan, pernyataan Novinger (2001) rasanya sangat pas untuk menggambarkan betapa pentingnya sebuah kultur atau budaya, dalam buku Intercultural Communication ia menyatakan bahwa, “Culture is communication and communication is culture”[2]. Ya, begitulah budaya yang dinilai sama pentingnya dengan komunikasi, yang tidak mungkin terlepas dari kehidupan sehari-hari, sejak terbangun dipagi hari hingga terlelap dimalam hari, setiap manusia pasti membutuhkan komunikasi.

            Maka bagi saya, lembaga legislatif kampus yang ideal adalah lembaga legislatif yang mengindahkan kultur atau budaya dari masing-masing daerah. Serta menghargai perbedaan kultur atau budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah tiap lembaga eksekutif (tanpa melanggar nilai dan norma yang ada). Dengan adanya toleransi budaya, bisa dipastikan ketegangan yang terjadi antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif kampus hijau hari ini dapat diminimalisir. Ya, sesederhana itu.






[1] www.wikipedia/wiki/lembaga_legislatif
[2] Novinger, T. (2001). Intercultural Communication, A Practical Guide. Dalam T. Novinger, Intercultural Communication, A Practical Guide (hal. 12). Texas: LIBRARY OF CONGRESS CATALOGING-IN-PUBLICATION DATA.

No comments:

Post a Comment