Powered By Blogger

Tuesday, December 1, 2015

Qaulan layyinan



Suatu hari di kampus tarbiyyah itu, kudengar kisah menakjubkan, sederhana namun menyentuh relung hati. Sesosok teladan yang bercerita melalui pribadinya bahwa untuk membelai nurani, tidak mesti melalui lisan yang mumpuni. Bahwa untuk menarik hati, tidak mesti dengan lembaran materi. Tetapi untuk menyentuh hati cukuplah dengan pribadi yang dekat dengan Ilahi, dan itu terbukti.
            Kulihat ia bukanlah sosok yang istimewa, begitu sederhana, tiada sempurna, namun akhlaknya begitu mempesona. Sesosok sederhana yang senang menyapa kala bertemu saudaranya, “Assalaamu’alaikum..”, ucapnya senantiasa dengan senyum gembira, bersahaja. Sesosok yang tiada banyak kata, tetapi sekalinya berucap, muatannya penuh makna. Urusan saudaranya yang belum membayar uang kuliah, menjadi urusannya. Urusan saudaranya yang belum mengecap indahnya mengenal Allah, menjadi tugas besarnya. Urusan saudaranya kala terseok dalam barisan dakwah, menjadi tanggung jawab tangannya. Itulah dia, sosok bersahaja nan tetap sederhana.
            Kudengar ia bukanlah sosok yang pandai bicara, biasa saja, bahkan aksen medok daerahnya tak pernah hilang meski telah hidup sekian lama di Jakarta. Suatu ketika ia mengisi kajian keIslaman di kampus tercinta, dan benarlah ternyata apa kata mereka, baru aku dengar orasinya yang biasa saja, ia banyak tersendat kala berbicara. Tetapi apa yang membuatnya tetap bersahaja? Cukup dengarkanlah apa yang diucapkannya, muatannya. Rasakan ghirahnya terhadap Islam, begitu meresap ke dalam dada. Ternyata ciri khasnya adalah dengan qaulan layyinan, berkata dengan perkataan yang lemah lembut dan begitu dalam maknanya.
            Namanya begitu tersohor dikalangan halaqah kampus, namun bukan karena dirinya yang senang tampil di muka umum, bukan pula karena tampilannya yang istimewa, melainkan tersohor karena begitu banyak mahasiswa yang terbina dengan tangannya. Hiruk pikuk kampus ternyata tidak menyurutkan semangatnya dalam menebar cinta Ilahi, padahal begitu beragam karakter dan kultur yang ada di kampus tarbiyyah ini, dari mulai yang akademis, organisatoris, sampai yang nongkrong-nongkrong ‘miris’. Objek dakwahnya tidak tanggung-tanggung menunggu siapa yang mau mengaji, tetapi langsung mencari siapa yang belum mengaji, kalau boleh masuk kategori, sasaran yang paling disenanginya adalah anak-anak tongkrongan yang akademis tidak, organisatoris pun tidak. Pertanyaannya, mengapa ia begitu berani?
            Kunci keberanian dari ghirah Islamnya yang begitu tinggi, adalah tidak lain tidak bukan tersebab kedekatan jiwanya kepada Ilahi Rabbi, Allah ‘Azza wa Jalla. Tetapi aku tidak cukup puas, aku butuh mendengar cerita-cerita lain tentang kesehariannya, sebab aku melihat begitu banyak orang shalih yang kelihatannya dekat –bahkan sangat dekat— kepada Ilahi, tetapi ghirah membinanya tidak membumbung tinggi. Terlebih lagi, banyak orang hebat di luar sana yang jago orasi, tetapi tidak mampu menyentuh hati sedalam sesosok murabbi yang kukenal ini.
            Dalam kesehariannya, sesosok murabbi itu masih saja sering datang ke kampus untuk mengisi halaqah, meski ia tiada lagi memiliki amanah kuliah. Saat itu adalah saat-saat berharga bagi pertemuan mengaji antara mahasiswa baru dan murabbi-nya, sebab tahun ajaran baru adalah masa awal yang begitu menggoda, yang mampu menjadi saksi pertemuan-pertemuan selanjutnya. Jurusan seni adalah tempat awal sosok murabbi luar biasa ini berasal, yang bahkan aku tak mengerti bagaimana mungkin anak-anak di jurusan seni yang terkenal begitu antipati terhadap mengaji, bisa menempel padanya. Mana mungkin.
            Seiring bergulirnya waktu, semakin banyak kisah penuh inspirasi yang kudengar tentangnya. Sampai pada sebuah kisah yang mengantarku pada rasa yang paling mengharu biru, pada jawaban-jawaban atas rasa penasaranku. Kisah yang mampu menahan mataku dari berkedip, dan mendekap nafasku selama beberapa detik, yakni kisah yang menceritakan saat-saat di mana orientasi mahasiswa baru jurusan seni begitu ramai, bebas, penuh senioritas. Mementingkan canda-tawa keakraban daripada kualitas perkenalan dalam persaudaraan. Tubuh mahasiswa-mahasiswa baru itu, penuh coretan dari kaleng-kaleng cat yang warna-warninya berbaur menjadi satu, mewarnai hamparan kulit para mahasiswa baru itu. Sedangkan senior? hanya ingin tertawa gembira, menunjuk-nunjuk betapa lucu dan konyolnya mereka. Hingga tibalah saatnya semua cerita konyol itu terhenti, saat rombongan mahasiswa baru itu tiba dalam sebuah lingkaran cinta, ada sesosok manusia nan bersahaja yang tiada banyak bicara, sedang memandangi mereka dengan tatapan cinta. Seketika ia cari sehelai kain basah, kemudian membersihkan satu persatu binaannya, dan itulah dia, murabbi tercinta mereka! Allahu, ya Rabb. Aku tak sadar pipiku seketika basah, menitik air mata ini kala mendengar cerita-cerita halaqah tentangnya.
            Aku pun sadar bahwa jasa yang telah digoreskannya juga tertanam dalam relung jiwaku, ternyata sesosok murabbi itu telah membangun ghirah membina di bawah alam sadarku! Ia telah membuktikan betapa cinta seorang murabbi dapat mencairkan hati-hati yang beku dari dekapan Ilahi. Tidak perlu sesosok istimewa nan popular dan pandai berucap, cukuplah ia yang dekat kepada-Nya, mulia akhlaknya, dan mampu membasahi jiwa-jiwa yang kering dengan lisannya. Qaulan layyinan, perkataan yang lemah lembut, yang kedalaman maknanya mampu menyentuh jiwa umat manusia.

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” 
[Qs. Thahaa : 44]


Tulisan ini telah diikutsertakan dalam lomba menulis inspirasi Sekolah Murabbi dan menjadi hak panitia sepenuhnya.

No comments:

Post a Comment