Powered By Blogger

Sunday, April 7, 2013

Seminar HAM "Kebebasan Beragama di Indonesia, dan Prancis" @UI

Bismillah.


                Senin malam, 18 maret 2013, saat sedang menikmati (lumayan) bacaan filsafat ilmu karangan bapak Suwandi, ada sms masuk yang isinya ajakan untuk hadir ke Auditorium UI mengikuti salah satu dari rangkaian acara Francophonie 2013, kegiatan seminar yang bertema ”Les droits de l’homme” a.k.a Hak Azazi Manusia, spesifiknya tentang KEBEBASAN BERAGAMA di Indonesia dan Prancis . Saya sadar betul bahwa besoknya jadwal kuliah saya sedang penuh, ada empat mata kuliah, full. Tapi tawaran itu sungguh menggiurkan.
                Hati ini mulai terusik, minta didaftarkan untuk ikut seminar di UI. Dan.. voila! Saya memilih ikut seminar dan mengambil jatah absen kuliah, terambilah satu jatah. Kalau kata kawan saya yang jaraaaaaang sekali absen, hari ini adalah THE BIG ESCAPE. Haha saya dan kawan-kawan sontak tertawa mendengarnya, karena dalam hidup kami selama ini kami sudah pernah ambil jatah absen kuliah (bukan sudah biasa lho yau). Saya bersama kawan-kawan dan beberapa adik tingkat berangkat bersama dari unj.
                Di seminar tadi kami para peserta disuguhkan tiga pembicara luar biasa, ada ibu Ida dari Direktorat pusat pelayanan komunikasi masyarakat (HAM), Dominique Roubert dari Atase pers dubes Prancis, dan Haris Azhar dari kontraS, beliau mendapat gelar Master of Arts untuk bidang HAM di University of Essex, U.K.
                Mancaaaaaaaaap.
                Ibu Ida banyak mememaparkan tentang UndaUUD 1945, keputusan Menteri Agama, maupun Menteri Dalam Negeri,  yang notabene  semuanya tentang pengaturan Kebebasan Beragama di Indonesia. Salah satu contohnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memeluk agama yang diyakininya. Maasya Allah. Tinggal bagaimana kita saja mensyukuri nikmat beragama hari ini, khususnya dalam diinNya, Islam rahmatan lil’alaamin.. Jika ada keluhan mengenai pelanggaran hak beragama dan sebagainya kita bisa menghubungi ibu Ida ini. Namun sayang, saya baru tau bahwa ternyata fungsi HAM hari ini belum kuat seutuhnya, karena mereka tidak memiliki wewenang untung menghukum, melainkan membela, malah bisa jadi hanya sebagai counselor saja, hanya membimbing mereka yang tertindas untuk mendapatkan hak-haknya.
                Kemudian beralih ke Kebebasan Beragama di Prancis. Ini nih hal yang paling saya pengen Know Every Particular Object alias Kepo. Dari jaman SMA sampai sekarang, ini hal yang terus membuat saya penasaran, harus up-to-date pokoknya. Khususnya tentang Islam di ranah sekuler itu. Dulu saya biasanya hanya baca buku, tonton tivi, dengar radio, surfing internet, diskusi bareng kawan, sekarang lebih update lagi taun 2013, par le seminare... gimance perkembangannya ya?? Pikir saya dari tadi.
                Sampai monsieur Roubert yang mengenakan pakaian batik berwarna ungu itu membuka pembicaraan, saya baru mulai benar-benar  pasang telinga. “Saya akan membahas sedikit tentang sejarah awal mula azas laÏcité di Prancis..” katanya. Wow maasya Allah! Bahasa Indonesianya baik pemirsa. Saya banyak menyimak kemudian mencatat poin-poin penting, voila comme ça:
  • Prancis menganut azas paham laÏcité, yaitu paham sekularisme. Baik dibidang politik, pendidikan, dll.
  • Sejarah awalnya pada abad pertengahan, karena institusi politik dan gereja katolik. Dulu, pemerintahan dan perpolitikan berbentuk kerajaan, yang katanya menjadi bayangan Tuhan di bumi. Namun pada abad ke-17 sistem tersebut digugat warga negara Prancis.
  • Pada saat revolusi Prancis (1789), sistem kerajaan tersebut dijatuhkan dan negara mulai menganut sistem Republik, yang kemudian memisahkan antara Pemerintahan dan Agama.
  • Selain itu dulu di Prancis pernah ada perang berdarah, antara kaum beragama Katolik dan Kristen. Perang antar agama tersebut membuat warga negara menjadi trauma.
  • Akhirnya, pada awal abad ke-20 , sistem Undang-Undang laÏcité disahkan.
  • LaÏcité menjamin netralitas negara dari agama.
  • Negara tidak mengakui agama apapun, tapi juga tidak menyangkalnya.
  • Terdapat poin Liberté Fonction dalam Undang-Undang di negara Prancis, yang kurang lebih artinya Kebebasan Hati Nurani. Ini adalah Undang-undang yang menjamin warga negara Prancis untuk bebas Percaya atau Tidak percaya pada agama.
  • Kondisi di Prancis saat ini cukup menegangkan karena banyak kaum minoritas muslim di Prancis yang merasa tidak dianggap keberadaannya (kebanyakan dari mereka adalah warga negara imigran yang datang setelah Undang-undang laÏcité disahkan).
  • Namun bagi pemerintah, semua yang berhubungan dengan agama merupakan hak individu (ruang privasi) dan tidak dapat dibawa ke ruang publik.
  • Bagi monsieur Roubert, perdamaian beragama di Prancis mungkin akan terjadi 20-50 tahun lagi.

                Itulah beberapa informasi penting yang saya catat. Sedih? Pasti. Kecewa? Yo’i, pasti kecewa. Wong yang buat undang-undangnya itu manusia, jadi berasa banyak pertentangan batinnya. That’s why, I don’t have any passion for working in French. Je ne m’intéresse plus à travailler en France, dari sejak dulu saya tau bahwa negara Prancis menganut laÏcité. Sungguh tak bisa dipungkiri bahwa sudah banyak warga Prancis yang menginginkan pelegalan agama, tapi tetap saja Prancis kaku dengan azasnya, laÏcité. Bagi negara Prancis, laÏcité merupakan payung besar yang mempengaruhi semua sistem dinegara tersebut. Saya sungguh berharap jauh sebelum abad ke-20, sebelum UU laÏcité DISAHKAN, ada tokoh muslim yang berada di sana dan melarang pengesahan UU tersebut.
Namun lagi-lagi, siapa saya ya punya keinginan impossible begitu.
                Sebenarnya saya hanya ingin hak-hak beragama di sana tidak dilarang. Manusia bebas beragama dan meyakini keberadaan Tuhan. Apalagi menjalankan ibadah termasuk mengenakan simbol-simbol agama. Biarkan saudara-saudari muslim di sana menikmati manisnya iman, manisnya beribadah. Bukan justru bergerak dalam keterbatasan.
                Hari ini saya juga mendapat informasi baru tentang pelarangan burqa dan niqab, yang ternyata Undang-undangnya disebut dengan Pelarangan menyembunyikan wajah. Alasannya karena banyak kejahatan terjadi yang notabene menutup wajahnya demi menyembunyikan identitas, sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah pada mereka yang menutupi wajahnya dengan cadar. Mereka juga berkata bahwa cadar itu mengurangi dan merendahkan martabat wanita. (?)
Ketika Undang-undang tersebut disahkan, monsieur Roubert memastikan bahwa Nicolas Sarkozy (Presiden sebelum François Hollande) telah menanyakan perihal cadar ke dewan perwakilan pemerintahan yang beragama islam, dan monsieur Sarkozy mendapati jawaban bahwa cadar itu bukan kewajiban, melainkan hanya bentuk dari budaya timur tengah. That’s why, mereka yang bercadar banyak di-diskriminasikan. Karena kini mereka hidup dengan melanggar Undang-undang Pelarangan menyembunyikan wajah, tadi.

                Selanjutnya pembicara ketiga, bapak Haris Azhar. Beliau mengatakan bahwa HAM di Indonesia berjalan buruk. Ditingkat konstitusional, HAM sudah diperbaiki selama 12 kali. Tapi tidak ada perubahan. Itulah mengapa Navi Pillay (Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB) datang ke Indonesia dan memberi catatan keras pada pemerintah di Indonesia. Miris, pemirsa. Baginya HAM sekarang ini harusnya hanya wacana, dan menjadi substansi penegakkan hukum. Tentang HAK beragama, baginya masih banyak kasus pelanggaran terhadap keyakinan beragama, padahal Hak beragama adalah Hak fundamental. Relasi antara individu dan tuhannya. Jadi harusnya lebih diperhatikan.
               
Luar biasa pengetahuan yang saya dapat hari ini, subhanallah...
Sepulang dari seminar tadi kawan-kawan dan saya, kami menghampiri monsieur Roubert. Kami masih penasaran tentang hak beragama di Prancis. Muncul tiga pertanyaan dari kami yang saya ingat:
                Awalnya Salman bertanya tentang karikatur Rasul yang muncul dalam majalah Charlie Hebdo di Prancis yang sangat mengganggu. Jawaban monsieur Roubert lebih kurang adalah bahwa itu termasuk dalam undang-undang Liberté Fonction (kebebasan hati nurani) , yaitu salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Apalagi slogan Prancis Liberté-Égalité-Fraternité, yaitu Kebebasan-Kesetaraan-Kesaudaraan. Jadi tidak mungkin untuk dilarang. Kemudian beliau memberi statement, “Percayalah, bukan hanya agama islam saja yang diganggu di sana, tapi memang semua agama disindir di negara itu.”
                Selanjutnya ketika membahas tentang tempat beribadah, mereka mengakui bahwa shalat jum’at sampai menggunakan jalan umum (karena kapasitas masjid yang tidak cukup menampung) sangat mengganggu masyarakat Prancis. Nah, inilah hal yang sering saya baca, simak, dan tonton ditivi! Saya terheran kemudian ikut bertanya, “lalu ketika muslim Prancis yang barisan shalat jum’atnya mencapai jalan raya dianggap mengganggu ruang publik, maka mengapa sampai hari ini tidak beri solusi pembangunan masjid”
Monsieur Roubert menjawab, “Ya solusi pun pasti sedang dipikirkan dan dicari, namun bukan itu solusi yang tepat bagi Prancis. Mereka mencoba solusi lain yang sesuai dengan azas laÏcité tentunya. Kalau Indonesia punya Pancasila, pun kami punya LaÏcité..”  Jawabnya hati-hati.
                Kemudian timbul pertanyaan baru dari Eka, tentang warga negara yang mendapat diskriminasi karena namanya identik dengan nama seorang muslim. Kata monsieur Roubert itu benar terjadi, bahkan muslim Prancis yang namanya ke-timur-tengahan mendapat kesulitan saat melamar pekerjaan. Beliau mengibaratkan dengan kaum kulit hitam di Amerika yang mendapat diskriminasi. Kemudian beliau berkata, “Tapi siapa yang tahu, bahwa sekarang orang kulit hitam bisa jadi presiden di Amerika kan? Berharap saja, semoga ada juga orang yang namanya identik dengan nama muslim bisa menjadi presiden juga. Zinedine zidane contohnya.” Jawabnya netral seraya tersenyum. Kami hanya tertawa dan meng-aamiin-kan. Pada akhirnya monsieur Roubert menutup pembicaraan kami dengan joke ringan yang bagi sebenarnya itu jadul, tapi tetap saja kami tertipu, “Zinedine zidane punya saudara di Indonesia, tapi sudah meninggal..” lalu kami bertanya-tanya, “haa? Memang ada monsieur ? siapa siapa?”
“Masa kalian tidak tahu?” lanjutnya, “Itu ZAINUDIN MZ..” Dan kami semua tertawa lepas :D

Sungguh monsieur Roubert terlihat netral dan hati-hati sekali dalam menjawab. Il est gentil et aimable! Bahasa Indonesianya juga baik, karena ia bekerja di dubes Prancis untuk Indonesia selama lebih kurang 17 tahun. Formidable!

FYI: Ternyata MEDIA SOSIAL itu memang kejam sekali, pemirsa. Karena stereotip muslim menjadi buruk sekali bagi warga Prancis, karena hal-hal buruk saja yang mereka lihat di media.

Semoga Allah mengistiqomahkan dan menguatkan para muslim dan muslimah di bumi ini dalam beribadah kepadaNya, menikmati manis dari beriman kepadaNya.

Semoga bermanfaat. Hanya belajar berbagi. Bonne journée!

No comments:

Post a Comment