Powered By Blogger

Sunday, August 4, 2013

Angku



Bismillah.

Beberapa hari lagi sudah lebaran. Subhanallah cepatnya waktu berjalan, atau memang kita yang terlalu sibuk dengan urusan duniawi hingga 24jam terus terasa kurang dan cepat terlewati. Na’udzubillah..
Lebaran tiap tahun biasa saya habiskan di rumah Angku (panggilan kakek dalam bahasa minang). Namun semenjak meninggalnya Angku tahun 2008 silam, lebaran kian terasa sepi. Entahlah.
Jika diurutkan, setelah Rasulullah dan ayah, lelaki ketiga yang paling saya cinta adalah Angku. Lelaki yang selalu menyayangi dan memenuhi diri ini dengan perhatian-perhatian hangatnya.
Ketika saya masih SD, tiap hari pasti canda tawa dan cerita-cerita mengisi hari kami. Ya, rumah kami begitu berdekatan bahkan saya pernah tinggal di rumah Angku selama hampir setahun saat ibu merawat ayah yang sedang sakit di Jakarta. Kami banyak bercerita, saya banyak bertanya dan Angku selalu membagi jawaban-jawaban yang seru. 

Kami berbincang tentang perjuangan, tentang masa mudanya, tentang keluarga, tentang aktivitas harian, dll. Angku lahir tahun 1930an, pada tanggal 29 februari. Bisa dibayangkan bukan, Angku berulang tahun empat tahun sekali! Akhirnya beliau pun memutuskan untuk mengganti tanggal ulang tahun menjadi tanggal 30 agustus (entah atas pertimbangan apa) yang pasti ini lebih mudah untuk menghitung usia Angku setiap tahunnya :D
Angku adalah anak terakhir dari 12 bersaudara, dan saya masih tidak menyangka bahwa ternyata kesebelas saudara Angku mati muda dengan alasan yang beragam, salah satunya karena sakit. Itu artinya angku menjadi anak semata wayang dalam keluarganya. Bagi saya, Angku adalah sosok kakek yang bijaksana yang humoris dan UNIK, dan saya hormat sekali pada beliau.

Yang akan selalu saya ingat dan teladani ketika tinggal di rumah Angku adalah sifat rajinnya. Andung (nenek) setiap pagi memasak untuk kami, dan Angku menyeimbangi dengan mencuci baju, serta mengepel rumah. Seperti yang kita tonton dalam film “UP!”, mereka terlihat serasi. Aktivitas angku ba’da shubuh adalah menyapu dan mengepel lantai rumah, kemudian dilanjut dengan merendam baju-baju kotor untuk dicuci nanti. Tak lupa setiap pagi Angku seakan memiliki keharusan untuk JALAN PAGI, sampai-sampai Angku hafal seluruh jalan pintas di komplek kami yang mempermudah akses berjalan kaki ke jalan raya. Hehe, yang ini sesekali saya diajaknya. Pulang dari jalan pagi, Angku menyentuh rendaman baju-baju kotor dan semangat mencucinya, menguceknya, setelah itu menjemurnya :D Ketika semua beres, Angku dan kami (saya dan uni) siap menyantap sarapan yang dimasak Andung. Hmm.. Ada singkong hangat, ubi hangat, sampai yang agak mewah, roti tawar :D Kami sarapan di teras rumah sambil menikmati hangatnya matahari pagi. Pun di teras rumah Angku khas sekali, sarapan tanpa memakai baju alias berjemur. Sehat! Yang saya ingat saya sering sekali menjahili Angku, saya pura-pura jijay dengan keringatnya yang bercucuran, sisa dari jalan pagi tadi, cuci baju tadi, sampai berjemur kini. Dan voila! Senjata makan tuan, saya malah dijejali keringatnya. #kabuurr

Yang saya perhatikan, Angku sangat menjunjung tinggi persaudaraan dan kekeluargaan. Angku adalah orang yang dikenang baik dan bijaksana. Saya ingat ketika SD saya jatuh dari motor dan.. well memar-memar dan luka baret sedikit. Esoknya Angku datang naik ojek sambil membawakan roti krim untuk cucunya yang jail ini. Saya yang masih SD kala itu mengapresiasi tinggi sikap Angku dengan kasih sayang dan hormat saya padanya. Segala sesuatu yang datang dari hati memang akan sampai ke hati.

Sayangnya.. yang saya sesali ketika saya beranjak ke masa SMP.. ketika Angku semakin renta.. adalah komunikasi yang semakin merenggang. Ketika pendengaran Angku tak lagi baik dalam mendengar, ketika Angku melupakan nama-nama orang di sekitarnya, ketika Angku menjadi semakin sensitif. Saya mulai tidak banyak mendekatinya. Padahal itulah momen-momen di mana Angku semakin membutuhkan rekan bicara, kata ibu. Betapa ini memberikan pelajaran besar bagi saya untuk menghargai orang lain apapun kondisinya.

Pada akhirnya, ketika Angku tak mampu lagi banyak bicara, ketika tubuhnya terbaring saja di kasur, saya mulai merindukan saat-saat berbincang dengannya. Ketika ibu meminta saya untuk membelai rambut Angku dan memijat kaki beliau, bagi saya itulah komunikasi terakhir yang mampu saya lakukan dengannya.

Masih saja pipi ini basah ketika mengingat momen bersama beliau. Sosok inspiratif yang mengajarkan saya banyak hal dimasa-masa peralihan saya menuju remaja. Membagi cara berpikirnya yang dewasa pada sosok yang kecil ini. Mengajarkan berbagi dalam keterbatasan. Semangat bergerak untuk sentiasa bermanfaat, bahkan saat tubuh renta tak ada alasan untuk bermalas-malasan. Lakukan segala kebaikan selagi masih ada usia.
Segala yang datang dari teladan, akan menginspirasi. Segala yang datang dari hati, akan sampai ke hati. Rindu Angku. Semoga Allah meringankan bahkan menghindari beliau dari siksa kubur. Aamiin

No comments:

Post a Comment