Powered By Blogger

Tuesday, May 20, 2014

Hubungan Antara Persaudaraan dan Komunikasi Antarbudaya


 
          Perbedaan merupakan hal yang tak sejalan, benarkah? Sesederhana itukah kita memaknai sebuah perbedaan? Jika iya, mari sama-sama kita beranjak pergi menuju sebuah halte pemberhentian bus terdekat dari jarak kita duduk atau berdiri sekarang ini. Berhenti sejenak dan mari perhatikan, begitu banyaknya orang-orang yang masuk dan keluar dari bus, begitu banyak mereka yang lalu lalang melewati diri kita sekarang ini. Perhatikan dengan seksama dan jawablah pertanyaan sederhana ini, “apakah mereka semua tampak sama? Tampak serupa?”, tentu jawabannya adalah tidak.
            Asumsinya ketika kita dalam keadaan menunggu, bisa dipastikan kita semua akan memperhatikan keadaan sekitar, seperti kendaraan yang berjalan, gedung-gedung tinggi, terlebih orang-orang yang bergerak ke sana ke mari, dan tanpa sadar kita baru berhenti memperhatikan itu semua saat bus yang kita nanti datang menjemput. Mengapa? Karena mata kita menangkap PERBEDAAN dari apa yang baru saja kita lihat. Kita melihat dan kita menilai perbedaan-perbedaan tadi, ada yang menilai dengan prasangka negatif dan ada pula yang menilai dengan prasangka positif, semuanya bergantung pada tiap individunya. Sebaliknya, apabila wajah yang kita pandang semuanya sama, orang-orang memiliki hidung yang sama, mata yang sama, pakaian yang sama, kendaraan yang lalu lalang juga memiliki bentuk dan warna yang sama, serta semua gedung itu juga sama tingginya. Apa yang akan kita rasakan? Pasti terasa bosan dan hambar, tidak ada yang menarik dan perlu dinilai. Maka begitulah saya memaknai indahnya perbedaan.
            Kini persaudaraan dan perbedaan adalah dua hal yang terikat. Dan tahukah kita bahwa hal tersebut dapat diikat salah satunya dengan tali komunikasi? Ya, tentu saja. Namun kali ini saya tidak akan membahas komunikasi secara general, melainkan mengenai komunikasi antarbudaya. Mengapa saya harus mengaitkan komunikasi antarbudaya  dengan perihal persaudaraan? Sebab saya mengacu pada perkataan Rasulullah Saw dalam dua hadits yang insyaAllah disampaikan dari perawi yang shahih mengenai urgensi persaudaraan. “Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Lebih dari itu Imam Muslim kembali menguatkan urgensi ukhuwah islamiyyah dengan meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati, bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam”. MaasyaaAllah, bukan?
            Sebelum beranjak lebih jauh mengenai persaudaraan dan perbedaan, saya akan mencoba mencari benang merah dari makna perbedaan dalam komunikasi antarbudaya, di mana ia merupakan sebuah fenomena yang akan kita temukan setiap waktunya, termasuk dalam hal BERSAUDARA. Menurut  Novinger (2001) dalam bukunya yang berjudul Intercultural Communication, A Practical Guide. “By nature, communication is a system of behavior. And because different cultures often demand very different behaviors, intercultural communication is more complex than communication between persons of the same culture.”[1] Kawan, sebuah keniscayaan jika komunikasi antarbudaya ini terasa lebih kompleks dibanding komunikasi dengan mereka yang terlahir dari latar belakang budaya keluarga yang sama. Jangan salahkan diriku, dirimu, atau diri mereka. Carilah pembenaran bahwa perbedaan adalah sebuah nikmatNya.
            Kita memang hidup dalam lingkungan pendidikan yang sama, tapi tetap saja kita terlahir dari kultur keluarga yang berbeda. Maka ketika perbedaan adalah sebuah keniscayaan, masih pantaskah kita menghindari keadaan? Berbicara persaudaraan atau ukhuwah, ternyata benar masih ada korelasinya dengan komunikasi antarbudaya. Ukhuwah islamiyyah atau persaudaraan islam, merupakan hal yang mutlak, bersaudara karena agama, karena Allah. Namun dari segi budaya, kita akan menemukan banyak perbedaan. Bisa jadi kita akan menemukan banyak hambatan dalam melaksanakan persaudaraan islam jika kita tidak memahami komunikasi antarbudaya dengan benar.
            Di sisi lain, bukan hanya sekedar perbedaan yang menjadi penyebab utama terhambatnya sebuah persudaraan, melainkan juga efek dari p-r-a-s-a-n-g-k-a. Sungguh begitu manis madu ukhuwah ini jika kita mampu menyaringnya dari sarang-sarang prasangka yang ada. Analoginya, bagi banyak individu madu tidaklah nikmat jika disantap langsung dari sarangnya, maka saringlah madu tersebut terlebih dahulu. Begitu pula dengan persaudaraan, ia tidak nikmat jika disantap dengan prasangka, dan analogi tadi telah mengajarkan kita untuk menyaring ukhuwah dari sikap prasangka. Kemudian untuk memperkuat argumen tentang menyaring prasangka, saya mencoba mengacu pada argumen Allport, 1979 dalam buku Teaching and Assessing Intercultural Communicative Competence milik Michael Byram, “Such attitudes are frequently characterised as prejudice or stereotype, and are often but not always negative, creating unsuccessful interaction.”[2] Menilai sikap atau perilaku seseorang berdasarkan prasangka merupakan hal yang KLISE. Allport memang menggambarkan bahwa prasangka tidak melulu melahirkan sesuatu yang negatif, lagi-lagi bergantung pada individunya. Namun pada akhirnya ia menutup dengan argumen di mana prasangka dapat menciptakan KEGAGALAN dalam sebuah interaksi, dalam hal ini bisa juga kita kaitkan dengan komunikasi. Kawan lihat, betapa menyeramkan bukan sebuah prasangka? Maka hindarilah ia. Sebab kawan, Allah telah mengingatkan kita bersama firmanNya dalam Qs. Al-Hujurat: 12, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa...”.
            Bagi saya, mengakui dan menghargai perbedaan, serta menghindari prasangka adalah dua hal yang harus kita tanamkan dalam bersaudara guna membangun komunikasi yang baik antar sesama kawan yang pastinya memiliki latar belakang kultur yang tidak pernah sama. Ibaratnya, keluarga kawan A senantiasa makan siang dengan tempe goreng, sedang kawan B harus makan siang dengan semur tahu karena sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka mudah saja ketika mereka sedang bersama. Cari warteg terdekat kemudian pilihlah menu masing-masing, selanjutnya makan siang tetap terlaksana bersama-sama. Sesederhana itu kawan :)

Milka Anggun
Mahasiswi Semester VI
Jurusan Bahasa Prancis - UNJ





[1] Novinger, T. (2001). Intercultural Communication, A Practical Guide. Dalam T. Novinger, Intercultural Communication, A Practical Guide (hal. 4). United States of America: LIBRARY OF CONGRESS CATALOGING-IN-PUBLICATION DATA.

[2] Byram, M. (1997). Teaching and Assessing Intercultural Communicative Competence Multilingual Matters (Series). Dalam M. Byram, Teaching and Assessing Intercultural Communicative Competence (hal. 37). England: Multilingual Matters.

No comments:

Post a Comment